Prabowo Kejar Swasembada Pangan, Ini Tantangan dan Peluangnya di 2025

2 months ago 24

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Pertanian (Kementan) memprediksi sektor pertanian Indonesia masih akan dihadapkan pada sejumlah tantangan besar yang akan terus berkembang di 2025. Tentu ini jadi refleksi penting bagi pemerintahan Prabowo yang sedang mengejar program swasembada pangan.

Hal ini diungkapkan oleh Staf Ahli Menteri Pertanian, Suwandi dalam Seminar Nasional Outlook Sektor Pertanian 2025 INDEF di Jakarta, Senin (3/2/2025).

Dia menyoroti sejumlah faktor eksternal dan internal yang akan mempengaruhi ketahanan pangan nasional.

Suwandi menjelaskan, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi sektor pertanian adalah perubahan iklim yang semakin nyata. Fenomena seperti El Nino dan La Nina yang datang silih berganti berpotensi merusak pola cuaca, menyebabkan ketidakseimbangan antara curah hujan dan kekeringan.

Menurutnya, fenomena perubahan iklim dampaknya sangat terasa pada sektor pertanian, mulai dari kesulitan mendapatkan air di musim kemarau hingga banjir yang datang di musim hujan.

"Jadi iklim ekstrem tidak bisa terkendali secara baik, ter-manage secara global, sehingga tiba-tiba banjir, tiba-tiba kering, dan seterusnya. Sektor pertanian adalah sektor yang kena dampak, dan sudah kita rasakan waktu lalu air-air susah, sekarang musim hujan banyak air juga repot," kata Suwandi.

Selain perubahan iklim, katanya, masalah geopolitik global juga turut mempengaruhi sektor pertanian. Ketegangan internasional berimbas pada lonjakan harga bahan baku, termasuk pupuk yang menjadi bahan penting dalam pertanian. Pupuk yang mahal dan distribusi yang terganggu semakin memperberat beban para petani di Indonesia.

"Geopolitik global yang sekarang terjadi, sehingga waktu lalu dampak ikutannya adalah bahan baku untuk pupuk mahal luar biasa, dan dampaknya pupuk juga naik luar biasa," ujarnya.

Tantangan lain yang tak kalah signifikan adalah pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat, di dunia maupun di Indonesia. Setiap tahun, konsumsi beras di Indonesia diperkirakan naik sekitar 1.300 hingga 1.400 ribu ton. Menanggapi hal ini, sektor pertanian harus menghadapi tekanan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus berkembang.

Di sisi lain, dia juga menyebut alih fungsi lahan turut menjadi masalah serius, terutama di Pulau Jawa. Lahan pertanian yang semula subur kini banyak yang beralih menjadi kawasan industri, perumahan, dan infrastruktur lainnya. Alih fungsi lahan ini berdampak pada menurunnya luas lahan sawah yang tersedia untuk produksi pangan.

Peluang dan Solusi untuk Ketahanan Pangan

Namun, di balik tantangan-tantangan tersebut, Suwandi menyoroti beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat ketahanan pangan Indonesia. Salah satunya adalah potensi besar sumber daya lahan yang belum dimanfaatkan secara maksimal.

Lahan tidur, bekas hutan, dan lahan terlantar di luar Jawa bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi pangan, asalkan memperhatikan kelayakan secara teknis, ekonomis, dan sosial budaya.

"Pemerintah merancang program perluasan areal tanam, salah satunya melalui cetak sawah, yang merupakan investasi jangka panjang. Kita perlu mencontoh pengalaman masa lalu, seperti di Karawang dan Indramayu yang dulunya rawa, kini menjadi sentra padi yang sangat besar," tutur dia.

Selain itu, teknologi pertanian modern juga menjadi salah satu solusi untuk menghadapi tantangan ini. Saat ini, sektor pertanian Indonesia mulai beralih ke teknologi pertanian presisi dan smart farming. Dengan dukungan teknologi, produktivitas pertanian dapat meningkat secara signifikan, mempermudah pengelolaan sumber daya alam, dan mengoptimalkan hasil pertanian.

"Hanya teknologi lah yang mampu menggeser kurva fungsi produksi. Kalau bukan teknologi, paling peningkatan produksinya movement, naik turunnya. Tapi kalau teknologi ada delta shifting yang geser ke atas. Kalau nggak ada teknologi berarti turun, kebalikannya," jelasnya.

Suwandi menyampaikan bahwa kendala besar yang dihadapi oleh petani adalah permodalan yang terbatas. Meskipun pemerintah telah menyediakan skema seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Asuransi Usaha Tani, permasalahan terbesar adalah kurangnya pemahaman dan penerimaan petani terhadap manfaat asuransi.

Ia menekankan pentingnya penyuluhan dan pemahaman yang lebih baik agar petani secara otomatis mengasuransikan usaha mereka, mengingat risiko seperti banjir, kekeringan, dan serangan hama yang kerap terjadi.

"Yang bisa meng-cover itu terhadap dampak yang tidak diinginkan itu adalah asuransi. Setiap tahun sebetulnya sudah ada asuransi pertanian, sudah dituliskan di Indef, perlu ditingkatkan terus-menerus, terutama kita sudah mapping daerah-daerah langganan banjir, langganan kekeringan, langganan serangan hama penyakit. Kita hafal daerah tikus di mana saja pun sudah kita mapping-kan. Nah itulah salah satu untuk meminimalisir kerugian yang dihadapi petani," katanya.


(hoi/hoi)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Swasembada Pangan Dikebut, Strategi Akselerasi Diuji

Next Article Ambisi Prabowo: RI Jadi Lumbung Pangan Dunia 5 Tahun Lagi

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|