Reputasi AS Menuju di Ujung Tanduk, China Siap Ambil Kesempatan

7 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengaruh kebijakan luar negeri Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dinilai makin melemahkan reputasi global AS dan membuka peluang bagi China, terutama dalam isu Taiwan.

Hal ini disampaikan oleh Zhou Bo, seorang pensiunan kolonel senior dari Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA), dalam wawancara dengan The Guardian di Beijing.

"Trump merusak reputasi Amerika lebih dari semua pendahulunya digabungkan," ujar Zhou, dikutip Senin (3/3/2025).

"Pada akhir masa jabatan keduanya, saya percaya citra global Amerika akan makin ternoda, dan posisinya di dunia akan makin merosot."

Menurutnya, masyarakat Taiwan menyadari penurunan posisi AS di dunia, yang mungkin memengaruhi cara pandang mereka terhadap China. Taiwan selama ini mengandalkan bantuan militer dari AS, tetapi Trump menyatakan bahwa Taiwan seharusnya membayar untuk bantuan pertahanan tersebut, meskipun sudah menghabiskan miliaran dolar untuk membeli senjata dari AS.

Tahun ini, Taiwan sedang mempertimbangkan pembelian senjata senilai US$7-10 miliar sebagai strategi mendapatkan dukungan dari pemerintahan Trump.

"Seberapa percaya diri Taiwan terhadap Amerika Serikat, terutama dengan pemerintahan Trump?" kata Zhou.

"Mungkin suatu hari nanti, rakyat Taiwan akan berpikir, 'Kita tidak bisa pindah ke mana-mana. Kita tetap di sini. Mungkin tidak buruk juga menjadi bagian dari negara terkuat di dunia.'"

Sikap AS dan China terhadap Taiwan

Taiwan tetap menjadi titik panas dalam hubungan AS-China. Beijing menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan telah berjanji untuk menyatukannya dengan China, termasuk dengan kekuatan militer jika perlu.

Pada pemilu 2024, Taiwan kembali memilih Partai Progresif Demokratik yang pro-kedaulatan untuk ketiga kalinya secara berturut-turut. Data dari Pew Research menunjukkan hampir 70% penduduk Taiwan mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Taiwan, dengan angka ini meningkat hingga 85% di kalangan generasi muda di bawah 35 tahun.

Meskipun AS tidak secara resmi mengakui Taiwan sebagai negara, AS tetap menjadi pendukung keamanan terbesar Taiwan. Sikap Trump terhadap Taiwan tampak ambigu. Di satu sisi, ia menekankan bahwa dukungan AS terhadap Taiwan memiliki harga, tetapi di sisi lain, ia dikelilingi oleh penasihat yang menentang klaim China atas Taiwan. Pada awal bulan ini, Departemen Luar Negeri AS menghapus pernyataan dalam lembar faktanya yang sebelumnya menegaskan "kami tidak mendukung kemerdekaan Taiwan", sebuah langkah yang langsung mendapat kecaman dari Beijing.

Zhou menegaskan bahwa masa depan Taiwan tidak hanya ditentukan oleh rakyat Taiwan saja. "Kita tidak bisa hanya berpikir tentang apa yang dipikirkan oleh masyarakat Taiwan. Kita juga harus mempertimbangkan apa yang dipikirkan oleh masyarakat di daratan China," ujarnya.

Peran China dalam Konflik Global

Meski terdapat ketegangan atas Taiwan, Zhou melihat Trump sebagai pemimpin yang secara keseluruhan cukup bersikap "ramah" terhadap China. Ia mencatat bahwa tarif perdagangan yang diumumkan Trump pada awal masa jabatannya jauh lebih rendah dibandingkan ancaman 60% yang pernah disampaikannya.

Dalam beberapa pekan terakhir, komentar Trump tentang China relatif lebih tenang, sebagian karena AS sedang lebih fokus pada perang di Ukraina. Konflik ini mencapai puncaknya ketika Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bersitegang dalam pertemuan di Gedung Putih.

Pada hari peringatan ketiga invasi Rusia ke Ukraina, Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan panggilan video dengan Presiden China Xi Jinping. Xi menggambarkan hubungan China-Rusia sebagai "kuat" dan "unik", serta "tidak terpengaruh oleh pihak ketiga".

"Kunci untuk menyelesaikan masalah ini sebenarnya ada di tangan AS," kata Zhou, menolak anggapan bahwa peran China tidak relevan dalam upaya perdamaian. "China jelas tidak bisa diabaikan... Peran China akan muncul saat waktunya untuk gencatan senjata atau perjanjian damai."

Zhou juga menyatakan bahwa China mungkin akan mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Ukraina, bersama negara-negara non-NATO di Eropa dan negara-negara dari kawasan Global South. Pasukan perdamaian dari NATO dianggap oleh Rusia sebagai "serigala berbulu domba", sehingga kehadiran negara lain dapat lebih diterima.

Hubungan China dan Rusia memang menjadi sorotan di dunia akademik dan kebijakan luar negeri China. Kedua negara berbagi perbatasan sepanjang 4.200 km, yang baru sepenuhnya disepakati pada 2003. Meskipun China merupakan mitra yang lebih kuat dalam hubungan ini, Beijing tetap harus menyeimbangkan kepentingannya dengan Moskow.

"Hubungan China-Rusia itu kuat, tetapi tidak sampai pada tingkat aliansi," kata Zhou. "Saya menggambarkannya sebagai dua garis yang berjalan paralel. Tidak peduli seberapa dekat mereka, garis-garis ini tidak akan tumpang tindih."


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Taiwan 'Dikepung' 45 Jet Tempur & 14 Kapal Perang China

Next Article Media Asing Tebak Hubungan Prabowo dan AS di Era Donald Trump

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|