REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih bergerak di kisaran Rp 16.600-an per dolar AS. Pergerakan mata uang Garuda dipengaruhi oleh prospek kesepakatan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Mengutip Bloomberg, rupiah menguat 13 poin atau 0,08 persen ke level Rp 16.608 per dolar AS pada penutupan perdagangan Selasa (28/10/2025). Pada perdagangan sebelumnya, rupiah berada di posisi Rp 16.621 per dolar AS.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.“(Sentimen eksternal) Pasar didukung oleh prospek kesepakatan perdagangan antara AS dan China, dua konsumen minyak terbesar dunia, dengan Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping yang dijadwalkan bertemu pada hari Kamis di Korea Selatan,” kata Pengamat Mata Uang dan Komoditas, Ibrahim Assuaibi, dalam keterangannya, Selasa (28/10/2025).
Ibrahim menuturkan, Beijing berharap Washington dapat mencapai kesepakatan di tengah jalan untuk “mempersiapkan interaksi tingkat tinggi” antara kedua negara. Menteri Luar Negeri Wang Yi menyampaikan hal tersebut kepada Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, melalui panggilan telepon pada Senin.
Selain itu, ekspektasi terhadap kebijakan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) juga memengaruhi pergerakan rupiah. The Fed diperkirakan akan kembali memangkas suku bunganya pada pertemuan akhir bulan ini.
“Meningkatnya keyakinan bahwa Federal Reserve akan memangkas suku bunga setidaknya 25 basis poin pada akhir pertemuan dua hari pada Rabu. Spekulasi penurunan suku bunga diperkuat oleh data inflasi konsumen yang lemah dari minggu lalu, yang menunjukkan inflasi sedikit menurun pada bulan September,” ujarnya.
Ibrahim melanjutkan, ketidakpastian yang lebih luas atas ekonomi AS, terutama kondisi pasar tenaga kerja yang mulai mendingin dan penutupan sebagian kegiatan pemerintah, juga diperkirakan akan mendorong pelonggaran lebih lanjut oleh The Fed.
Dari sisi geopolitik, sentimen juga dipengaruhi oleh kebijakan Presiden Trump yang memberlakukan sanksi terhadap Rusia terkait konflik Ukraina. Sanksi itu menargetkan perusahaan minyak Lukoil dan Rosneft. Menyusul sanksi tersebut, Lukoil — produsen minyak terbesar kedua Rusia — menyatakan pada Senin bahwa mereka akan menjual aset internasionalnya.
“Ini adalah tindakan paling berpengaruh sejauh ini yang dilakukan oleh perusahaan Rusia setelah sanksi Barat atas perang Rusia di Ukraina, yang dimulai pada Februari 2022,” kata Ibrahim.
Dari dalam negeri, sejumlah sentimen juga memengaruhi pergerakan rupiah, terutama terkait strategi efisiensi belanja anggaran pemerintah.
“Pemerintah melalui Menkeu memaparkan strategi utama untuk mengelola rasio utang yang mencapai sekitar Rp 9.000 triliun. Strategi tersebut berfokus pada efisiensi belanja anggaran dan peningkatan pertumbuhan ekonomi untuk menekan defisit serta menaikkan rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (tax-to-GDP ratio),” ujar Ibrahim.
Total utang pemerintah pusat per akhir Juni 2025 tercatat Rp 9.138,05 triliun, terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 7.980,87 triliun dan pinjaman senilai Rp 1.157,18 triliun. Angka tersebut setara dengan 39,86 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Oleh karena itu, pentingnya pengeluaran pemerintah yang optimal agar berdampak maksimal pada perekonomian. Strategi yang pertama adalah anggarannya dibelanjakan tepat sasaran, tepat waktu, tidak ada kebocoran, dan dampaknya optimal terhadap perekonomian,” lanjutnya.
Dengan efektivitas belanja tersebut, pertumbuhan ekonomi diharapkan meningkat, didukung oleh perbaikan penerimaan negara (pajak dan bea cukai) serta pertumbuhan sektor riil yang kuat. Pada akhirnya, hal itu akan meningkatkan penerimaan pajak.
Berdasarkan berbagai sentimen eksternal dan internal tersebut, Ibrahim memprediksi rupiah akan kembali melemah pada perdagangan Rabu (29/10/2025).
“(Diprediksi) untuk perdagangan besok, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp 16.600—Rp 16.630 per dolar AS,” tutupnya.

3 hours ago
1













































