Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah kritikan pedas dari Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) dilontarkan ke Indonesia. AS mengkritik sistem perizinan impor di Indonesia, termasuk untuk produk hortikultura dan hewan. Meski sudah pernah digugat dan kalah di forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia dinilai masih mempertahankan kebijakan yang rumit dan mempersulit akses pasar.
"Indonesia menerapkan pembatasan dan larangan impor yang tidak sesuai dengan aturan WTO," tulis laporan tahunan 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis USTR, dikutip Jumat (25/4/2025).
USTR membeberkan, panel WTO pada 22 Desember 2016 silam, telah memenangkan seluruh 18 gugatan yang diajukan oleh AS dan Selandia Baru. Putusan itu juga dikuatkan oleh Badan Banding WTO, mempertegas bahwa kebijakan Indonesia tidak sesuai dengan ketentuan perdagangan internasional.
Gugatan pertama kali diajukan AS pada tahun 2013 setelah berbagai keluhan atas sistem perizinan impor yang dianggap diskriminatif dan tidak transparan. Setelah kalah di WTO, Indonesia memang mencoba melakukan sejumlah perubahan.
Salah satunya adalah penerbitan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 2 Tahun 2020, yang membebaskan kewajiban menyertakan sertifikat mutu dan keamanan untuk produk hortikultura dari negara-negara dengan sistem keamanan pangan yang telah diakui, seperti Amerika Serikat. Regulasi ini juga memberikan napas tambahan bagi importir dengan memperpanjang masa berlaku izin impor hingga 60 hari ke tahun berikutnya.
Namun kelonggaran itu tak bertahan lama. Pada 2022 lalu, pemerintah Indonesia kembali memperketat regulasi melalui Permentan No. 5 Tahun 2022, yang mewajibkan 29 jenis produk hortikultura untuk tetap memiliki Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Proses ini tidak hanya memakan waktu, tetapi juga mensyaratkan prosedur administratif tambahan.
Harapan sempat muncul pada awal tahun 2024 lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 8 Tahun 2024, yang menghapus syarat RIPH dan menggantinya dengan skema berdasarkan data neraca komoditas.
"Permendag No 8 Tahun 2024 tidak lagi mencantumkan kewajiban RIPH. Sebagai gantinya, izin impor akan diterbitkan berdasarkan data ketersediaan dan permintaan jika neraca komoditas untuk produk terkait belum ditetapkan," tulis USTR.
Namun, dalam praktiknya, skema ini dinilai tetap membuka peluang hambatan baru. Importir kini diminta untuk menyertakan berbagai dokumen tambahan seperti surat keterangan ketersediaan fasilitas cold storage, bukti penguasaan gudang pendingin, serta rencana distribusi atau produksi.
(dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Efek Rezim Trump, WTO Ramal Perdagangan Dunia 2025 Susut 0,2%
Next Article Ramai Diprotes, Permendag 8/2024 Akhirnya Direvisi? Ini Jawaban Mendag