Jakarta, CNBC Indonesia - Saat harga beras domestik terpuruk akibat melimpahnya pasokan global, para petani Thailand kini dihadapkan pada ancaman baru, yakni tarif impor dari Amerika Serikat yang berpotensi menghantam keras industri ekspor beras mereka.
Tarif sebesar 36% yang dipatok oleh Presiden AS Donald Trump dinilai bisa menutup akses pasar utama bagi produk andalan seperti beras melati Thailand yang dikenal mahal, dan memperparah krisis yang kini dirasakan petani di pedesaan.
Daeng Donsingha, petani berusia 70 tahun dari Thailand tengah, mengaku makin cemas atas masa depan keluarganya yang terdiri dari sembilan orang. Setelah harga beras turun drastis sejak India kembali mengekspor, kini ia juga khawatir kehilangan pasar ekspor utama.
"Masalahnya, harga beras sangat rendah, sementara biaya lain seperti pupuk dan sewa lahan terus naik," ujarnya usai menjual hasil panennya di sebuah penggilingan beras, dilansir Reuters, Rabu (23/4/2025). "Saya rugi."
Thailand saat ini menjadi salah satu negara Asia Tenggara yang paling terdampak oleh kebijakan tarif AS yang dijadwalkan berlaku pada Juli mendatang, jika perundingan yang sedang berlangsung tidak membuahkan hasil. Negara ini terancam kehilangan daya saing di pasar AS, terutama untuk jenis beras melati yang menjadi andalan ekspor.
"Kalau AS menerapkan tarif, beras melati kami akan terlalu mahal untuk bersaing," kata Chookiat Ophaswongse, Presiden Kehormatan Asosiasi Eksportir Beras Thailand.
Pada 2024, Thailand mengekspor sekitar 849.000 ton metrik beras ke Amerika Serikat - sebagian besar beras melati - dengan nilai mencapai 28,03 miliar baht atau sekitar 735 juta dolar AS. Secara keseluruhan, ekspor beras Thailand mencapai 9,94 juta ton dengan nilai 225,65 miliar baht atau sekitar US$6,82 miliar, menjadikan AS sebagai pasar ketiga terbesar berdasarkan volume, dan yang paling menguntungkan secara nilai.
Menurut Chookiat, jika tarif diberlakukan, harga beras Thailand bisa melonjak dari US$1.000 per ton menjadi US$1.400 hingga US$1.500 per ton. Hal ini akan mendorong importir AS beralih ke beras melati dari Vietnam yang hanya dibanderol sekitar US$580 per ton.
"Importir pasti akan memilih beras dari Vietnam yang jauh lebih murah," katanya. "Mereka bisa panen beberapa kali dalam setahun dan biaya produksinya juga jauh lebih rendah."
Ancaman tarif AS datang di tengah kondisi yang sudah genting. Harga beras dalam negeri Thailand telah anjlok sekitar 30% sejak India - yang sebelumnya menyumbang 40% ekspor beras global sebelum melakukan larangan ekspor - kembali mengekspor berasnya pada September lalu.
Somporn Isvilanonda, seorang ekonom pertanian independen, menegaskan bahwa Thailand tidak memiliki ruang untuk menurunkan harga lebih jauh agar bisa bersaing.
"Biaya produksi kita tinggi, sementara hasil panen rendah," ujarnya. "Kalau kita menurunkan harga, petani tidak akan bertahan."
Saat ini, para petani dan pelaku industri menaruh harapan besar pada delegasi Thailand yang dipimpin Menteri Keuangan Pichai Chunhavajira untuk menegosiasikan kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat guna menghindari pemberlakuan tarif.
Namun kenyataannya, ekspor beras Thailand sudah mulai melambat. Menurut Asosiasi Eksportir Beras, ekspor secara keseluruhan turun 30% pada kuartal pertama 2025 karena banyak negara menunda keputusan pembelian dan India kembali membanjiri pasar global. Penurunan serupa diperkirakan akan terjadi dalam tiga bulan mendatang.
Ironisnya, beberapa konsesi yang diusulkan Thailand dalam perundingan dagang justru bisa merugikan sektor pertanian domestik. Salah satunya adalah rencana menurunkan tarif impor jagung AS dari 73% menjadi nol.
Hal ini memicu kekhawatiran bahwa jagung murah dari AS akan membanjiri pasar dan menekan harga hasil sampingan beras seperti dedak dan beras pecah yang banyak digunakan untuk pakan ternak.
Presiden Asosiasi Penggiling Beras, Banjong Tangchitwattanakul, mengingatkan bahwa langkah itu akan berdampak buruk bagi petani lokal. Pada 8 April lalu, empat kelompok tani - termasuk asosiasi penggilingan - mengajukan petisi kepada pemerintah agar menolak rencana impor jagung dan bungkil kedelai dari AS karena berisiko menekan harga komoditas pakan ternak dalam negeri.
Pemerintah Thailand sendiri berjanji bahwa konsesi apapun yang diberikan dalam perundingan dengan AS tidak akan merugikan industri domestik.
Namun, bagi petani seperti Daeng, nasib mereka kini seolah ditentukan oleh kebijakan yang dibuat ribuan kilometer jauhnya.
"Anak-anak saya sudah mengikuti berita," katanya. "Mereka bilang ke saya, 'kita tak bakal bisa bertahan, Bu, kalau ini terus berlanjut.'"
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Jalan Terjal Indonesia Negosiasi Tarif Trump
Next Article Video: BI Beberkan 5 Indikator Ekonomi Dunia Bakal Meredup ke Depan