Warga Diminta Tak Abaikan Keselamatan demi Konten Viral Bencana

6 hours ago 3

Warga Diminta Tak Abaikan Keselamatan demi Konten Viral Bencana Pohon tumbang akibat angin kencang di wilayah Tempel, Sleman, beberapa waktu lalu. / Antara

Harianjogja.com, SLEMAN—Pakar UGM menyoroti aktivitas masyarakat dalam mengambil gambar atau video di lokasi bencana yang kadang mengabaikan aspek keselamatan. Warga diminta memahami aspek risiko bahaya sebelum mengabadikan momen di lokasi bencana. 

Deputi Sekretaris Center for Digital Society (CfDS) UGM, Iradat Wirid mengatakan fenomena mengambil gambar atau video saat terjadi keadaan darurat atau berbahaya ini sering dilakukan masyarakat. Di luar kejadian bencana, masyarakat kadang justru memotret peristiwa kecelakaan, kebakaran bahkan aksi terorisme sekalipun. 

"Yang paling pernah ingat dulu kejadian terorisme yang di Sarinah. Itu salah satu yang orang itu merekam dari dekat, sehingga semuanya terdorong untuk melakukan sesuatu yang menurut mereka itu berpotensi untuk menjadi populer," kata Iradat dikutip pada Rabu (26/11/2025).

Kecenderungan warga ingin menjadi yang pertama mengabadikan momen berpotensi menjadi sorotan publik tak terlepas dari pengaruh media sosial itu sendiri. Dorongan untuk menjadi populer atau viral disebut Iradat kadang mengabaikan rasionalitas penggunanya sebagai manusia. 

"Dorongan untuk menjadi viral di tengah algoritma sosial media yang sekarang muncul, itu saya rasa kadang mengalahkan rasionalitas sebagai manusia," ujarnya. 

Menurutnya ada dorongan psikologis untuk mengabadikan sesuatu yang dirasa hanya mereka yang memiliki. Sifat eksklusif mendorong pengguna media sosial atau masyarakat menembus batas-batas zona aman dan rasionalitas.

Dalam cakupan kebencanaan, masuknya masyarakat ke zona bahaya untuk mengabadikan momen dinilai Iradat tak bisa dilepaskan dari persoalan literasi.

"Jadi ketimbang kita mengamankan diri, mungkin orang itu masih lebih memilih untuk merekam itu dan mengunggahnya di media sosial, karena pemahamannya memang hanya sebagai pemahamannya mungkin hanya sampai di situ," ungkapnya. 

Bisa jadi, warga tidak memahami risiko yang akan diterima jika berada di zona bahaya. Sementara literasi kebencanaan tidak dimasukkan ke dalam kurikulum-kurikulum pendidikan secara masif.

Frasa populer No Pic, Hoax juga memperparah fenomena viral. Prinsip baru jika tidak direkam atau jika tidak ada bukti, maka kejadian itu tidak pernah terjadi ungkap Iradat sebenarnya berbahaya. Pasalnya pengambilan gambar atau video untuk bukti itu kadang melupakan aspek keselamatan. 

"Ini menjadi salah satu model yang kurang tepat sebenarnya, yaitu dokumentasi lebih dulu lah kira-kira, baru keselamatan yang belakangan," ucapnya. 

Lebih lanjut konsep citizen journalism yang selama ini dibangun disebut Iradat juga kadang meleset. Iradat berujar bila konsep citizen journalism yang dilakukan justru seolah-olah bisa melanggar batasan atau bahkan bisa tanpa batasan.

"Semua-semua ditembus, padahal dalam konteks etika jurnalisme meskipun masyarakat yang ngambil, etika jurnalisme harus tetap diutamakan. Soal keselamatan orangnya, keselamatan si pewawancara atau si jurnalisnya. Bahkan ada hal-hal yang mungkin bisa ngambil dari jarak kejauhan saja, kalau toh institusi atau otoritas melarang mengambil gambar-gambar tertentu," ujarnya. 

Dorongan untuk menjadi viral menjadi paradoks tersendiri. Masyarakat ingin membantu menyampaikan informasi, tapi tak semuanya punya literasi. Dampaknya, informasi yang coba disampaikan, dibuat oleh masyarakat tanpa mengetahui risikonya. 

"​Jadi algoritma ini saya rasa sebuah paradoks ya sebenarnya. Warga ingin membantu sebenarnya, niatnya saya rasa cukup baik. Ingin membantu memberikan informasi, tapi pendidikan atau literasi yang didapatkan saya pikir kurang, sehingga justru mereka tidak paham dengan risiko yang terjadi," ucap Iradat.

Jika warga ingin terlibat dalam kegiatan citizen journalism seperti mengabarkan bahayanya bencana, mereka harusnya menjadi orang pertama yang memahami risiko-risiko bencana itu sendiri. Dengan demikian dalam peliputan atau penyampaian informasi suatu bencana, mereka tetap aman dan terhindar dari risiko bahaya. 

"Saya pikir konsep mitigasi dan empati itu kan dua hal yang memang harus dipegang terus. Jadi konsep mitigasi itu tetap nomor satu, mitigasi bencananya harus dilakukan dulu. Baru kemudian melakukan pekerjaan-pekerjaan jurnalisme begitu. Tapi kadang dorongan tadi ketika di media sosial, melaporkan yang terjadi, ini menjadi dilema dan menjadi paradoks bagi warga," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|