Harianjogja.com, JOGJA—Tuberkulosis (TBC) masih menjadi ancaman kesehatan serius di tingkat global dan nasional. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat TBC sebagai salah satu dari tiga penyakit menular yang paling disorot, bersama AIDS dan malaria. Posisi Indonesia bahkan lebih memprihatinkan, berada di peringkat kedua dunia untuk jumlah kasus TBC terbanyak.
Kepala Seksi Pencegahan Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi Dinas Kesehatan Kota Jogja, dr. Endang Sri Rahayu, menyatakan kondisi ini sangat mengkhawatirkan. “Indonesia nomor dua dunia. Ini sangat mengkhawatirkan karena TBC bisa menular lewat udara dan siapa pun bisa tertular,” jelas dr. Endang dikutip dari laman resmi Pemkot Jogja, Kamis (27/11/2024).
Di tingkat lokal, upaya penanganan TBC di Kota Jogja masih menghadapi tantangan besar. Angka kesembuhan belum pernah menyentuh target nasional sebesar 90%. Pada tahun lalu, tingkat kesembuhan hanya berkisar 86%, dan tahun ini diperkirakan baru mencapai hampir 80%.
“Belum pernah mencapai 90 persen. Padahal yang sudah diobati saja belum semuanya sembuh total, sehingga masih berpotensi menularkan,” katanya.
Endang memaparkan berbagai faktor yang meningkatkan kerentanan terhadap TBC. Pada anak-anak, risiko meningkat akibat gizi buruk, stunting, dan berat badan rendah. Sementara pada orang dewasa, kebiasaan merokok, penyakit diabetes, HIV, serta gaya hidup tidak sehat menjadi pemicu utama.
Lingkungan hunian juga berperan besar. Rumah dengan kondisi lembab, minim ventilasi, dan kurang cahaya matahari menjadi tempat ideal bagi bakteri Mycobacterium tuberculosis berkembang. “Rumah tidak layak huni sangat berisiko. Kuman TBC menyukai tempat lembab dan gelap,” terangnya.
Pencegahan melalui vaksin BCG yang diberikan pada bayi sebelum usia 1 bulan hanya efektif mencegah TBC berat, bukan penularannya. Cakupan vaksinasi di Jogja memang baik, namun efektivitasnya hanya 60–70%, lebih rendah dibanding vaksin lain.
“BCG bukan mencegah penularan, tapi mencegah TBC berat. Banyak masyarakat salah persepsi,” ujarnya.
Masalah lain yang mengemuka adalah meningkatnya TBC Resistensi Obat (TB RO). Salah satu pemicu utamanya adalah kebiasaan pasien yang berhenti minum obat sebelum pengobatan tuntas. Padahal, pengobatan TBC membutuhkan konsistensi minimal enam bulan setiap hari tanpa putus.
“Banyak yang merasa sehat lalu berhenti minum obat. Ada yang bosan, ada yang terkendala jarak ke fasilitas kesehatan. Ini yang memicu resistensi obat,” jelasnya.
Epidemiolog Kesehatan Dinkes Kota Jogja, Setyo Gati Candra Dewi, mengungkapkan temuan kasus hingga 17 November 2025. Tercatat 1.161 kasus TBC yang ternotifikasi dari seluruh faskes, termasuk 18 puskesmas dan 18 rumah sakit. Namun, tidak semuanya warga Kota Jogja.
“Dari total 1.161 kasus, hanya sekitar 590 yang beralamat di Kota Jogja. Setiap tahun biasanya hanya 50–60 persen yang benar-benar warga kota,” jelasnya.
Angka ini justru lebih tinggi dari estimasi pusat yang memprediksi 1.034 kasus pada 2025. Untuk memutus mata rantai penularan, Dinkes gencar melakukan investigasi kontak pada setiap pasien. Kontak erat diperiksa gejalanya, sementara kontak sehat diberikan Terapi Pencegahan TBC (TPT).
“Kita harus tetap waspada karena TBC bisa menular di mana saja kantor, sekolah, pasar, transportasi umum. Masker sangat penting,” ujar Gati.
Di tingkat puskesmas, seperti diungkapkan Programer TBC Puskesmas Umbulharjo II, Rini, penanganan terus dilakukan. Hingga saat ini terdapat empat pasien yang sedang menjalani pengobatan di wilayahnya.
“Kami terus memberikan edukasi mengenai pentingnya GERMAS, konsumsi gizi seimbang, dan disiplin pengobatan terus diberikan kepada pasien,” ungkap Rini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


















































