Warga Palestina Lawan Rencana Relokasi Trump, Blak-blakan Bilang Gini

1 day ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah warga Palestina mulai angkat bicara soal wacana relokasi warga negara itu yang diutarakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Mereka menentang rencana tersebut dan berjanji akan terus mempertahankan tanah kelahirannya, yang saat ini dalam pendudukan sekutu AS, Israel.

Sebelumnya, Trump membuat pernyataan menyarankan agar warga Palestina di Gaza dapat dikirim ke negara tetangga Yordania dan Mesir. Hal ini dilakukan untuk apa yang dianggapnya sebagai alasan keamanan di wilayah itu.

"Anda berbicara tentang sekitar satu setengah juta orang, dan kita hanya membersihkan semuanya dan berkata: 'Anda tahu, ini sudah berakhir'," kata Trump.

Komentarnya langsung menuai reaksi keras. Para kritikus menuduhnya menganjurkan pemindahan massal, terutama mengingat dorongan sayap kanan Israel untuk membangun permukiman ilegal Israel di Gaza.

Warga Gaza Utara, Saqr Maqdad, mengaku akan terus berada di sana meski Israel baru saja meluluhlantakkan wilayah pantai Palestina itu. Ia menyebut banyak kenangan yang ada di Palestina sehingga wajib baginya untuk mempertahankan tanah airnya.

"Pembicaraan Trump tentang merelokasi kami adalah fantasi belaka. Apakah dia pikir, setelah semua yang telah kami alami, kami akan pergi begitu saja? Ini rumah kami, dan kami akan tetap di sini," ucapnya kepada Al Jazeera, Selasa (28/1/2025).

"Ini adalah pesan kepada pendudukan dan para pendukungnya: kami tidak akan meninggalkan tanah kami. Kami akan tetap di sini, berapa pun biayanya."

Saqr menjelaskan bahwa pemahamannya ini serupa dengan pikiran dan niatan warga Gaza lainnya. Menurutnya, seluruh warga Gaza berkeinginan untuk terus bertahan hingga mati di wilayah itu.

"Tidak ada skema politik, tidak peduli seberapa kuatnya, yang dapat mengubahnya. Setiap langkah yang kami ambil kembali ke utara adalah langkah melawan penggusuran. Ini tanah kami. Kami lahir di sini, dan kami akan mati di sini."

Di Gaza Selatan, tepatnya wilayah Khan Younis, suara yang sama juga disampaikan Abu Suleiman Zawaraa. Petani berusia 76 tahun itu mulai kembali menanam hasil bumi berupa pohon zaitun dan jeruk di lahannya, setelah sebelumnya dihancurkan selama operasi militer Israel yang berlangsung selama berbulan-bulan.

"Hidup di antara puing-puing adalah tantangan, tetapi itu adalah tantangan yang telah kami terima. Meninggalkan Gaza bukanlah pilihan. Kami telah selamat dari pemboman, kehancuran, dan kehilangan. Kami tidak akan menyerah sekarang," ujarnya.

Kampanye militer Israel di Gaza, yang diluncurkan pada 7 Oktober 2023, telah meninggalkan korban yang tak tertandingi di daerah kantong itu. Dengan lebih dari 46.700 warga Palestina tewas, termasuk 18.000 anak-anak, dan hampir 1,9 juta orang mengungsi, hanya sedikit yang tidak tersentuh.

Selain itu, lebih dari separuh bangunan di Gaza telah rusak atau hancur, termasuk infrastruktur penting. Tercatat 92% jalan utama dan 84% fasilitas kesehatan telah rusak.

Walau begitu, Abu Suleiman tetap mengaku akan tinggal di Gaza. Ia bahkan menuding Trump tidak mengerti sejarah atau kenyataan.

"Ya, kami telah menanggung penderitaan yang tak terbayangkan, penghancuran semua yang kami miliki, dan trauma genosida," kata Abu Suleiman.

"Tetapi tidak ada satu pun dari ini yang dapat mendorong siapa pun untuk menerima pemindahan. Kenangan kami tentang Nakba pada tahun 1948 masih hidup. Mereka yang pergi saat itu tidak pernah kembali, dan kami tidak akan membiarkan sejarah terulang kembali."

Nakba atau 'malapetaka' adalah pemindahan paksa sedikitnya 750.000 warga Palestina dari rumah mereka pada tahun 1948 setelah pembentukan Israel di 78% wilayah Palestina. Kenangan itu membekas dalam ingatan banyak warga Palestina, dan sering kali membentuk tindakan mereka saat ini.

Abu Suleiman menunjukkan bahwa kesempatan untuk meninggalkan Gaza tersedia selama dan bahkan sebelum perang, tetapi orang-orang lebih banyak memilih untuk tetap tinggal, bahkan saat kematian tampak lebih dekat daripada kehidupan.

"Kami melihat diri kami sebagai bagian dari perlawanan, sebagai pembela Palestina. Menyerah atau pergi berarti membayar harga yang tidak dapat ditanggung seluruh bangsa," tegasnya.

"Beban berat ini hanya memperkuat tekad kami untuk mempertahankan tanah kami, bahkan jika itu berarti hidup di tengah reruntuhan."

Israa Mansour, seorang ibu empat anak berusia 35 tahun yang tinggal di tenda darurat setelah rumahnya hancur di Khan Younis, mendukung argumen Abu Suleiman. Ia menolak untuk pergi karena Gaza adalah rumahnya, meskipun harus tinggal menderita.

"Kami menolak untuk pergi, bukan karena kami tidak punya pilihan, tetapi karena ini adalah rumah kami. Bahkan anak-anak saya memahami pentingnya tetap tinggal di tanah kami meskipun menderita," tuturnya.

Namun, Israa berpendapat bahwa para pemimpin Palestina harus memberikan dukungan, termasuk pendidikan, perawatan kesehatan, dan bantuan darurat, untuk membantu orang-orang bertahan dalam kondisi yang tidak tertahankan.

"Bagaimana kami bisa melawan pengungsian jika kami tidak memiliki kebutuhan dasar hidup? Apakah masuk akal untuk mengharapkan Gaza menanggung neraka ini tanpa batas waktu sambil menuntut ketahanan yang lebih dari rakyatnya?," paparnya.

"Tanpa makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar, bahkan keluarga yang paling kuat pun mungkin terpaksa mempertimbangkan alternatif, bukan karena kurangnya patriotisme, tetapi karena putus asa."


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Israel Lakukan Operasi Militer di Tepi Barat

Next Article Terungkap! Trump Bakal Bela Palestina soal Ini, Israel Hati-Hati

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|