Jakarta, CNBC Indonesia - Pertempuran Rusia dan Ukraina terus menemui babak baru. Kali ini, sekutu utama Kyiv, Amerika Serikat (AS), mulai memutus sejumlah bantuannya kepada negara itu demi perdamaian dengan Moskow.
Hal ini terjadi setelah pertemuan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih, Washington, Sabtu lalu. Saat itu, keduanya berdebat karena Trump memaksa agar Zelensky mau melakukan gencatan senjatanya dengan Rusia, meski wilayahnya di Timur telah diambil alih oleh Moskow.
Pemerintahan Trump pada hari Minggu terus mengkritik Zelensky. Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Mike Waltz mengatakan kepada CNN bahwa AS membutuhkan seorang pemimpin Ukraina yang bersedia mengamankan perdamaian abadi dengan Rusia, tetapi tidak jelas apakah Zelensky siap untuk melakukannya.
Perdebatan ini pun telah memicu sejumlah reaksi. Di sisi lain, muncul dinamika baru dalam perang. Berikut sejumlah perkembangan terbarunya dirangkum dari berbagai sumber oleh CNBC Indonesia, Senin (3/3/2025):
1. AS Minta Zelensky Mengundurkan Diri
Pejabat tinggi AS menyarankan agar Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengundurkan diri dari jabatanya. Hal tersebut disampaikan Minggu, menggarisbawahi bagaimana kesepakatan damai dengan Rusia bisa tercapai dan perubahan pendekatan yang diambil Presiden AS Donald Trump.
"Kita membutuhkan pemimpin yang dapat berurusan dengan kita, akhirnya berurusan dengan Rusia, dan mengakhiri perang ini," kata Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz mengatakan kepada CNN International, dikutip AFP, Senin (3/3/2025).
"Dan jika menjadi jelas bahwa motivasi pribadi atau motivasi politik Presiden Zelensky berbeda dari mengakhiri pertempuran di negara ini, maka saya pikir kita memiliki masalah yang nyata."
2. Putin Respons Kisruh Zelensky & Trump
Perdebatan Trump dan Zelensky pun tak luput dari pantauan Rusia. Pemerintah Presiden Vladimir Putin pun memberi respons mellui juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova.
"Saya pikir kebohongan terbesar Zelensky dari semua kebohongannya adalah pernyataannya di Gedung Putih bahwa rezim Kyiv pada tahun 2022 sendirian, tanpa dukungan," tulis Zakharova di Telegram, dikutip dari NDTV, Senin (3/3/2025).
"Bagaimana Trump dan Vance menahan diri untuk tidak memukul bajingan itu adalah keajaiban dalam hal menahan diri," ujarnya.
"Zelensky menggigit tangan yang memberinya makan... Hal yang tidak menyenangkan bagi semua orang."
Komentar lain juga muncul dari Kepala Dewan Keamanan Rusia dan mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev. Ia bahkan menyebut Zelensky sebagai "babi kurang ajar" yang telah menerima "tamparan keras di Ruang Oval".
"Untuk pertama kalinya, Trump mengatakan kebenaran kepada badut kokain di hadapannya," ujarnya.
"Rezim Kyiv sedang bermain-main dengan PD 3. Dan, babi yang tidak tahu terima kasih itu menerima tamparan keras di pergelangan tangan dari pemilik kandang babi. Ini berguna. Namun, itu tidak cukup - kita harus menghentikan bantuan militer kepada mesin Nazi," kata Medvedev.
Kepala Dana Investasi Langsung Rusia Kirill Dmitriev menggambarkan momen Zelensky dan Trump sebagai hal yang bersejarah. Sedangkan Kepala Badan Kerjasama Kemanusiaan Internasional Rusia Yevgeny Primakov menuduh Zelensky berusaha menghasut kekerasan.
"Zelensky duduk dengan tangan di antara kedua kakinya saat Presiden dan Wapres AS menghajarnya," tulis laman milik pemerintah Rusia, RT.
3. Eropa Satukan Suara Dukung Penuh Ukraina
Pemimpin Inggris dan sejumlah negara Eropa berkumpul di London, Minggu (2/3/2025) untuk menyusun rencana perdamaian Ukraina yang akan dibawa ke Amerika Serikat (AS). Hal ini terjadi setelah Washington mengambil sejumlah manuver untuk mengurangi dukungan pada Kyiv dalam perangnya melawan Rusia.
Pada pertemuan tersebut, para pemimpin Eropa memberikan dukungan yang kuat kepada presiden Ukraina dan berjanji untuk berbuat lebih banyak untuk membantu negaranya. Perdana Menteri (PM) Inggris Keir Starmer mengatakan Inggris, Ukraina, Prancis, dan beberapa negara lain akan membentuk koalisi dalam penyusunan ini.
"Ini bukan saatnya untuk lebih banyak bicara. Saatnya bertindak. Saatnya untuk maju dan memimpin serta bersatu di sekitar rencana baru untuk perdamaian yang adil dan abadi," kata Starmer, saat menyambut Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sehari sebelum pertemuan puncak itu.
Para pemimpin tidak memberikan rincian rencana mereka. Sebelum pertemuan puncak, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan kepada surat kabar Le Figaro bahwa rencana tersebut akan melibatkan gencatan senjata selama satu bulan yang akan berlaku untuk serangan udara dan laut tetapi tidak untuk pertempuran darat.
"Pasukan Eropa akan dikerahkan jika perjanjian perdamaian yang lebih substansial tercapai," ungkap Macron.
Tidak jelas apakah negara-negara lain telah menyetujui persyaratan tersebut. Zelensky sendiri mengatakan setelah pertemuan itu, ia melihat dukungan yang jelas dari Eropa dan kesiapan untuk bekerja sama.
"Akan ada diplomasi demi perdamaian," katanya dalam pidato video malam harinya. "Dan demi kita semua bersama, Ukraina, seluruh Eropa dan tentu saja, tentu saja Amerika."
4. Eropa Genjot Anggaran Pertahanan
Sementara itu, Eropa juga sepakat bahwa mereka harus mengeluarkan lebih banyak dana untuk pertahanan. Kepala Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, juga menyarankan blok tersebut dapat melonggarkan peraturan yang membatasi tingkat utang untuk pendanaan pertahanan.
"Setelah lama kekurangan investasi, sekarang sangat penting untuk meningkatkan investasi pertahanan untuk jangka waktu yang lama," ujarnya.
Pendanaan yang ditambah ini dibayangi oleh sikap Trump yang dirasa kurang memperdulikan jaminan pertahanan bagi sekutunya di Eropa. Benua Biru menyebut mereka tidak dapat menjadi Ukraina kedua sehingga perlu memperkuat diri sendiri.
"Eropa perlu mengubah Ukraina menjadi landak baja yang tidak dapat dicerna oleh calon penjajah," tambahnya.
5. Negara NATO Ini Marah ke Ukraina
Hungaria terus mengalamatkan pernyataan keras kepada Ukraina. Terbaru, Budapest menuding bahwa negara tetangga itu telah melakukan manuver yang akhirnya mengganggu kedaulatannya.
Mengutip Russia Today (RT), Menteri Luar Negeri (Menlu) Hungaria Peter Szijjarto mengutuk serangan drone Budapest terhadap stasiun kompresor jaringan pipa gas TurkStream. Szijjarto menyebutnya sebagai serangan terhadap kedaulatan negaranya karena peran penting saluran tersebut dalam keamanan energinya.
"Jaringan pipa Turkish Stream adalah jaminan keamanan pasokan gas alam Hungaria; oleh karena itu, gangguan apa pun yang mungkin terjadi akan sangat membahayakan keamanan energi kita," tulis Szijjarto di Facebook, Sabtu (1/3/2025).
"Keamanan energi adalah masalah kedaulatan, dan oleh karena itu jenis serangan ini harus dianggap sebagai serangan terhadap kedaulatan."
Komentar Szijjarto disampaikan setelah militer Rusia melaporkan telah menggagalkan serangan pesawat nirawak Ukraina terhadap stasiun kompresor Russkaya pada Jumat malam. Stasiun ini merupakan fasilitas penting bagi jaringan pipa TurkStream, di Wilayah Krasnodar Rusia, yang berfungsi sebagai titik keluarnya gas lalu masuk ke pengiriman.
Pipa tersebut, yang telah beroperasi sejak Januari 2020, menyalurkan gas alam Rusia ke pelanggan Turki dan beberapa negara Eropa, termasuk Hungaria, Serbia, Bulgaria, Slovakia, Bosnia dan Herzegovina, dan Yunani.
Szijjarto juga meminta Komisi Eropa untuk mengklarifikasi pendiriannya mengenai masalah tersebut. Ia mengingatkan Brussels akan jaminannya baru-baru ini bahwa Ukraina tidak akan menargetkan infrastruktur yang menuju UE.
"Menlu Rusia Sergei Lavrov memberi tahu Szijjarto tentang upaya serangan tersebut selama percakapan telepon yang diprakarsai oleh Hungaria," kata Kementerian Luar Negeri Rusia dalam sebuah pernyataan. Ia menjelaskan insiden tersebut dan implikasinya terhadap keamanan pipa tersebut.
Insiden tersebut bukanlah yang pertama kali melibatkan fasilitas tersebut. Pada bulan Januari lalu, pasukan Ukraina berupaya menyerangnya dengan sembilan pesawat nirawak kamikaze, menurut militer Rusia. Semua UAV berhasil dicegat, tetapi puing-puing dari ledakan tersebut menyebabkan kerusakan kecil pada stasiun tersebut.
6. Rusia: Zelensky "Khianati" Yahudi
Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergei Lavrov menyebutkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sebagai pengkhianat bagi etnisnya, Yahudi. Hal ini terjadi saat Rusia dan Ukraina masih dalam peperangan besar.
Mengutip Russia Today (RT), Senin (3/3/2025), Lavrov mengatakan bahwa Zelensky menjadi penghianat bagi Umat Yahudi karena berpihak pada kelompok sayap kanan, yang anti dengan Rusia. Menurutnya, Zelensky saat ini sudah sama dengan Nazi Jerman yang membantai umat Yahudi di Perang Dunia II.
"Zelensky berubah 180 derajat dari seseorang yang berkuasa dengan slogan-slogan perdamaian dan dalam waktu setengah tahun berubah menjadi seorang Nazi murni, dan seperti yang dikatakan dengan tepat oleh Presiden Rusia Vladimir Putin, seorang pengkhianat bagi orang-orang Yahudi," kata Lavrov.
Pernyataan ini mirip dengan apa yang diucapkan Putin. Pada Juni 2023, Putin menyebutkan bahwa teman-temannya di komunitas Yahudi 'mengatakan bahwa Zelensky bukanlah seorang Yahudi, ia adalah aib bagi orang-orang Yahudi', seraya menunjuk bahwa Ukraina saat ini mengagung-agungkan tokoh-tokoh Nazi.
Sementara itu, Lavrov juga menyatakan skeptisisme mengenai rencana yang disuarakan oleh beberapa negara anggota NATO Eropa untuk mengerahkan pasukan penjaga perdamaian ke Ukraina. Diplomat tersebut mengklaim bahwa kekuatan Barat pada kenyataannya justru akan menghasut Kyiv untuk melakukan perang melawan Moskow.
Ia mengutip perjanjian Minsk yang gagal, yang ditandatangani pada tahun 2014 dan 2015, dan seharusnya menghentikan pertempuran antara Ukraina dan Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk. Jerman dan Prancis adalah penjamin perjanjian tersebut, tetapi kemudian secara terbuka mengakui bahwa mereka menandatanganinya hanya untuk memberi waktu bagi Kyiv guna membangun militernya.
"Barat pertama-tama membawa (mantan Presiden Petro) Poroshenko ke tampuk kekuasaan dengan bayonet mereka, dan kemudian Zelensky," tuturnya.
"Pendukung Barat yang sama telah menjadi kekuatan pendorong di balik pengabaian mendadak Zelensky terhadap platform pro-perdamaian yang ia kampanyekan pada tahun 2019."
7. Jerman Tolak Demiliterisasi Ukraina
Kanselir Jerman Olaf Scholz mengklaim bahwa keamanan Eropa harus berpusat pada Ukraina yang "kuat", menolak desakan Rusia bahwa negara tetangganya harus di demiliterisasi. Pernyataan Scholz muncul setelah PM Inggris Keir Starmer mengumumkan rencana untuk koalisi baru pendukung Kyiv
Berbicara kepada wartawan setelah pertemuan di London, Scholz tidak menyebutkan apakah Berlin akan mengerahkan pasukan tetapi menekankan dukungan keuangan dan militer yang berkelanjutan untuk Ukraina.
"Jelas bahwa kita harus mendukung Ukraina secara finansial dan dengan cara militer," katanya, mencatat bahwa Berlin sendiri telah mengumpulkan total 44 miliar euro (Rp 756 triliun) untuk Kiev.
Menurut Institut Kiel, Jerman adalah negara donor perorangan terbesar kedua bagi Ukraina, yang menyumbang sekitar US$ 18 miliar (Rp 296 triliun) dalam bentuk bantuan militer dan bantuan lainnya.
"Kedua, kita harus tahu bahwa inti dari setiap tatanan perdamaian di masa depan haruslah kemampuan Ukraina untuk mempertahankan diri dan memiliki tentara yang kuat... Semua arsitektur keamanan harus berputar di sekitarnya," tambahnya.
Rusia berpendapat bahwa konflik tersebut dipicu oleh perluasan NATO ke arah perbatasannya dan telah mengesampingkan gencatan senjata sementara. Moskow berpendapat bahwa perdamaian dapat dicapai hanya jika Ukraina berkomitmen pada netralitas, demiliterisasi, dan denazifikasi, dan mengakui realitas teritorial di lapangan.
Namun, Scholz menepis kekhawatiran Moskow, dengan menyatakan bahwa "perspektif Rusia tidak dapat diterima," dan bahwa "pertanyaan tentang demiliterisasi yang dituntut Rusia tidak dapat diterima." Ia menambahkan bahwa "Ukraina harus... begitu kuat sehingga tidak diserang lagi."
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Trump Tidak Beri Jaminan Keamanan & Keanggotaan NATO Ke Ukraina
Next Article Rencana Kemenangan Ukraina Terungkap, Ada 'Barter' SDA dengan NATO