Ada Kabar Buruk dari Ekonomi China, Bakal Terlemah Sejak 1990

5 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi China kemungkinan turun sedikit di bawah target pemerintah, sebesar 5%, tahun lalu. Menurut survei AFP, melambatnya ekonomi Beijing akan menjadi yang terlemah yang pernah dialami negara tersebut sejak tahun 1990.

Ekonom memprediksi pertumbuhan di ekonomi nomor dua dunia itu hanya akan mencapai 4,9% di 2024, turun dari 5,2% yang tercatat pada tahun 2023. Mereka juga memperingatkan bahwa pertumbuhan itu bisa turun menjadi hanya 4,4% di 2025 ini dan bahkan turun di bawah 4% pada tahun 2026.

Salah satunya analis Moody's Analytics, Harry Murphy Cruise. "Mesin ekonomi sedang berjuang untuk bekerja," tegasnya.

Pengamat dari Mercator Institute for China Studies, Francois Chimits, juga mengatakan hal sama. Meski "angka", ujarnya, "sering kali tunduk pada penyesuaian strategis untuk mencerminkan tujuan internal".

Dikatakannya ekonomi China sejauh ini gagal mencapai pemulihan pascapandemi yang kuat akibat krisis real estat yang berkepanjangan, yang membuat konsumen dan investor khawatir. Sementara pemerintah daerah bergulat dengan utang yang melonjak.

"Masalah di sektor properti khususnya memprihatinkan mengingat peran vitalnya dalam mendorong pertumbuhan," kata Chimits.

Di sisi lain, karena permintaan luar negeri yang kuat untuk produk-produk China, ekspor tahun lalu mencapai titik tertinggi dalam sejarah. Langkah-langkah tersebut telah berkontribusi pada pemulihan moderat pada kuartal terakhir.

Seorang ekonom di Societe Generale, Michelle Lam, tampa langkah-langkah tersebut, konsumsi memang akan menjadi "jauh lebih buruk". Apalagi beberapa penyesuaian untuk mendukung pembelian properti tak signifikan.

"Namun, implementasinya masih lambat," tegasnya.

Yang memperparah masalah Beijing ke depan adalah kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih Amerika Serikat (AS). Sebelumnya presiden terpilih yang bakal dilantik 20 Januari itu, berjanji selama kampanyenya untuk memberlakukan langkah-langkah perdagangan yang lebih keras terhadap China, lebih parah dari yang ia lakukan selama masa jabatan pertamanya.

Kenaikan tarif dapat memukul ekspor China. Apalagi saat ini sektor ini menjadi pilar ekonomi utama yang lebih penting, karena tidak adanya permintaan domestik yang kuat.

Menurut laporan Goldman Sachs, potensi kenaikan 20% dalam pungutan AS atas barang-barang China akan mengakibatkan pukulan 0,7 poin persentase terhadap PDB riil tahun ini. Dalam upaya untuk menopang perekonomian dalam persiapan menghadapi kemungkinan hambatan, Beijing telah mengumumkan pelonggaran kebijakan fiskal pada tahun 2025 dan rencana untuk meningkatkan konsumsi dengan mensubsidi penggantian barang-barang rumah tangga lama.

"Tekanan eksternal tahun ini mungkin memerlukan dukungan kebijakan domestik yang lebih besar dari Beijing," kata ekonom di Macquarie Group, Larry Hu.

"Itu bisa menjadi pergeseran paradigma, dengan permintaan domestik melampaui permintaan eksternal, seperti yang terjadi pada tahun 2009-2019," tambahnya.

Sementara itu, mengutip Trading Economics, China akan mengumumkan PDB-nya Jumat. 


(sef/sef)

Saksikan video di bawah ini:

Video : APBN 2024 Defisit Rp 507,8 Triliun

Next Article China Bagi-Bagi BLT ke Warga, 1 Orang Dapat Rp1,3 sampai Rp 1,7 Juta

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|