AI Picu Modus Baru Penipuan Digital di Indonesia

3 hours ago 2

Harianjogja.com, SLEMAN— Center for Digital Society (CfDS) UGM menilai tingginya angka korban penipuan digital di Indonesia menunjukkan perlunya pembaruan dalam materi literasi digital. Teknologi yang semakin canggih, seperti kecerdasan buatan (AI), deepfake, dan voice changer, kini dimanfaatkan pelaku untuk menipu masyarakat.

Deputi Sekretaris CfDS UGM, Iradat Wirid, menjelaskan hasil riset nasional CfDS menunjukkan 60% kasus penipuan digital masih dilakukan lewat SMS dan telepon. “Sebenarnya masyarakat kita masih banyak yang tertipu lewat metode lama. SMS dan telepon itu masih sangat marak,” ujarnya, Kamis (7/11/2025).

Penelitian CfDS yang digelar pada Februari–Juni 2022 melibatkan 1.700 responden di 34 provinsi dengan rentang usia 18–82 tahun. Riset ini mengelompokkan 15 modus penipuan digital dan delapan medium utama seperti jaringan seluler, media sosial, aplikasi chat, situs web, hingga dompet digital.

Hasilnya, 98,3% responden pernah menerima pesan penipuan digital, dan 66,6% di antaranya mengaku pernah menjadi korban. “Mayoritas yang menerima pesan penipuan akhirnya tertipu,” terang Iradat.

Modus Lama Masih Jadi Favorit Penipu

Modus penipuan berkedok hadiah mendominasi dengan 91,2%, disusul pinjaman online ilegal (74,8%), tautan berisi malware/virus (65,2%), penipuan krisis keluarga (59,8%), dan investasi ilegal (56%).

Sebaliknya, modus yang jarang diterima responden adalah penerimaan beasiswa palsu (19,9%), lowongan kerja palsu (20,6%), serta penipuan asmara (27,7%).

Dari sisi medium, SMS dan telepon menjadi saluran utama dengan 64,1% responden mengaku pernah menerima pesan penipuan lewat jalur tersebut. Sisanya menggunakan media sosial (12,3%), aplikasi chat (9,1%), dan situs web (8,9%).

“Modusnya masih sama, cuma sekarang diperkuat teknologi. Dulu cuma telepon, sekarang bisa video call pakai AI dengan wajah dan suara yang mirip,” kata Iradat.

Kelompok Rentan dan Literasi Digital yang Menurun

Riset CfDS juga menemukan kelompok Baby Boomer (72,6%) menjadi korban terbanyak, disusul Generasi Z (68,1%) dan Generasi Milenial (62,8%). Berdasarkan pendapatan, korban terbanyak berasal dari kelompok berpenghasilan di bawah Rp1,5 juta per bulan (72,4%).

Dari sisi pendidikan, responden dengan pendidikan SLTP paling rentan tertipu (84,8%), diikuti SD (71,4%) dan S3 (69,2%).

Iradat menyoroti turunnya indeks literasi digital nasional berdasarkan data Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) yang hanya mencapai 44 dari 100. “Padahal teknologi makin maju, tapi kemampuan literasi digital kita justru turun cukup signifikan,” ujarnya.

Menurutnya, salah satu penyebab adalah materi literasi digital yang tidak diperbarui sesuai perkembangan teknologi, terutama terkait AI. “Revisi materi literasi digital sering terlambat. Waktu itu belum ada AI yang masif, sekarang sudah banyak digunakan untuk menipu,” jelasnya.

AI Picu Modus Baru Penipuan Digital

Iradat mencontohkan modus terbaru berupa pembuatan wajah palsu dengan AI untuk membuka rekening bank, atau video call deepfake yang meniru wajah dan suara keluarga korban. “Sekarang orang bisa percaya karena videonya sangat meyakinkan, padahal palsu,” katanya.

Ia juga mengingatkan bahaya voice changer dalam penipuan yang membuat suara penipu terdengar seperti orang yang dikenal korban. “Modusnya masih sama, hanya diperkuat dengan teknologi,” imbuhnya.

Untuk mencegah korban baru, Iradat menegaskan edukasi digital harus diperkuat. “Kalau hanya menanggulangi setelah kejadian, masyarakat tetap tidak terlindungi. Edukasi itu kuncinya,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|