Warga mengendarai kendaraan bermotor melintasi tiang listrik yang roboh di Desa Bundar, Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Selasa (9/12/2025). Aliran listrik di sebagian daerah terdampak bencana banjir dan longsor di Aceh masih padam atau belum normal sehingga warga terpaksa memanfaatkan jaringan listrik melalui generator set (genset) yang disediakan sejumlah warung kopi di kabupaten setempat.
REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH — Kerusakan infrastruktur kelistrikan akibat banjir dan longsor di sejumlah wilayah Aceh tergolong parah karena menyentuh jaringan utama, termasuk transmisi, gardu induk, hingga pembangkit.
Di tengah kondisi tersebut dan akses lokasi yang menantang pascabencana, proses pemulihan listrik dinilai terbilang cepat.
Akademisi sekaligus Wakil Direktur IV Politeknik Negeri Lhokseumawe, Muhammad Arifai mengatakan tantangan utama pemulihan saat ini adalah kombinasi antara kerusakan infrastruktur yang berat dan keterbatasan akses ke titik-titik terdampak.
“Tantangan terbesarnya ada pada rusaknya infrastruktur dan akses yang sulit. Namun di tengah kondisi itu, ritme pemulihannya tetap terbilang cepat,” ujar Arifai, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (10/12/2025).
Dia menjelaskan, setelah akses mulai terbuka dan perbaikan fisik dilakukan, tahapan paling krusial dalam pemulihan listrik adalah proses sinkronisasi antara pembangkit dan sistem jaringan.
“Sinkronisasi ini tidak bisa tergesa-gesa. Tegangan, frekuensi, dan fase harus benar-benar presisi. Kalau dipaksakan, risikonya bisa menimbulkan gangguan lanjutan,” tegasnya.
Sebelum sinkronisasi dilakukan, seluruh peralatan yang sempat terendam banjir harus melalui proses pengeringan, pembersihan, inspeksi, dan pengujian untuk memastikan sistem aman saat kembali dioperasikan.
Usai sinkronisasi, langkah lanjutan dilakukan untuk menjaga keandalan sistem, seperti penyesuaian proteksi, pemantauan melalui SCADA, serta penyeimbangan beban antarwilayah agar tidak terjadi kelebihan beban.

2 hours ago
1
















































