Jakarta, CNBC Indonesia - Aktivitas ekonomi global tengah menghadapi tantangan berat. Hal ini dipicu oleh semakin terpecah hubungan antar negara. Alhasil, perpecahan ini meningkatkan ketidakpastian ekonomi dan menggeser ekonomi dunia ke tatatan baru, dari multilateral ke unilateral.
"Dunia mengalami perubahan yang sangat besar, sangat signifikan. Kalau kita sebutkan the new economic order," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat konferensi pers APBN di kantornya, Jakarta, Jumat (14/3/2025).
Perubahan tatanan ekonomi dunia saat ini, kata Sri Mulyani, dipicu oleh kepemimpinan Donald Trump, yang kembali memegang kekuasaan sebagai Presiden Amerika Seikat (AS) untuk periode kedua.
Di bawah kepemimpinan Trump, AS membawa prinsip hubungan antar negara yang semula menjunjung tinggi multilateralisme atau kerja sama global berdasarkan kesepakatan bersama, menjadi unilateralisme, mengambil kebijakan berdasarkan tindakan sepihak tanpa mempedulikan kepentingan negara lain.
Tatanan baru ekonomi ini merupakan tatanan ekonomi global yang tidak lagi mengikuti pakem ekonomi 50 tahun atau 60 tahun lalu. Dahulu, globalisasi dan global rule base menjadi sandaran.
Ini menjadi fondasi dalam interaksi antar negara setelah Perang Dunia Kedua. Saat itu, semua negara sepakat membentuk rule order dari mulai hadirnya PBB, WTO, IMF, G20 dan World bank. Tatanan ini berubah sejak Donald Trump memimpin pemerintahan AS untuk periode kedua.
"Semenjak munculnya Trump 2.0 unilateralism atau aksi sepihak dari satu negara yang merupakan negara terbesar di dunia jadi dominan, jadi the rule of the game ya tadinya multilateral jadi unilateral," lanjutnya.
Kondisi tatanan global yang berubah ini juga tampak dalam pertemuan G20 terakhir di Afrika Selatan. Banyak menteri-menteri negara tidak hadir dalam pertemuan bergengsi ini. Menurut Sri Mulyani, tamu yang hadir pun tidak sebanyak saat Indonesia memegang presidensi. Saat itu, Indonesia mampu menghadirkan seluruh anggota G20.
"Perubahan begitu besar dari tahun 2022 ke sini. Suatu perubahan 3 tahun telah mengubah orde dunia memberikan implikasi sangat fundamental," tegasnya.
Sejak dilantik sebagai Presiden AS pada 20 Januari 2025, Trump menandatangani banyak executive order yang menurut Sri Mulyani telah menimbulkan gejolak di seluruh dunia, termasuk Indonesia, terutama dari sisi gejolak nilai tukar rupiah yang melemah menjadi Rp 16.162 per dolar AS pada akhir 2024.
Sebab, ia menerapkan kebijakan perang perdagangan terhadap negara-negara mitra dagangnya sendiri, melalui pengenaan tarif tambahan terhadap barang dan jasa yang mereka impor dari negara yang mencatatkan surplus neraca perdagangan.
"Gejolak ini dirasakan seluruh dunia dan ini terefleksikan dalam kurs rupiah untuk sampai akhir Februari end period ytd Rp 16.309 per dolar AS," kata Sri Mulyani.
Selain rupiah, efek Trump juga terasa di yield SBN seiring dengan panasnya perang dagang antara AS, China, Kanada dan Meksiko. Kendati demikian, Sri Mulyani mengaku posisi Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara lain.
"Pada 2024, ytd yield kita 6,8% untuk SBN 10 tahun dan end of periodnya di 7%," paparnya.
Tahun ini, dia memperkirakan asumsi yield SBN sebesar 7%. Adapun, realisasi di akhir Februari sebesar 6,8% dan 6,98% secara year to date (ytd). "Ini adalah bulan-bulan Januari, Februari yang tidak mudah dan tidak biasa," tegas Sri Mulyani.
Kebijakan pengenaan tarif ini kata Sri Mulyani adalah bentuk mulainya peperangan di bidang ekonomi, atau yang ia sebut war game. Sebab, kebijakan pengenaan tarif ini berbalas, karena negara mitra dagang utama AS turut mengenakan tarif perdagangan ke AS.
"Ini yang disebut war game di bidang ekonomi," kata Sri Mulyani. "Trade yang tadinya berdasarkan rule base sekarang secara sepihak dapat diubah dan Presiden Trump mengincar negara yang memiliki surplus terhadap AS," paparnya.
Sri Mulyani mengatakan, kebijakan Trump yang mendasari pengenaan tarif perdagangan tambahan untuk barang-barang ekspor dari negara partnernya ialah negara-negara yang mengalami surplus perdagangan dengan AS.
Maka, China menjadi target utama Trump karena surplus perdagangannya mencapai US$ 319,1 miliar pada 2024, lalu Meksiko US$ 175,9 miliar, dan Vietnam US$ 129,4 miliar.
Indonesia pun menurutnya masuk ke dalam kategori yang bisa dikenakan tarif tambahan oleh Trump, karena surplus perdagangan Indonesia ke AS urutan ke-15, yakni senilai US$ 19,3 miliar.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa jika kebijakan tarif diberlakukan ke Indonesia, hal tersebut menciptakan biaya rantai pasok sektor manufaktur hingga sektor digital yang akan meningkat.
"Rantai pasok juga akan mengalami disrupsi, harga komoditas mengalami volatilitas,dan sentimen pasar akan terus menerus terayun ayun volatile, seperti yang terjadi pada 1 bulan terakhir. Ini menimbulkan semua negara sekarang berpikir peta dunia dari sisi ekonomi seperti apa keputusan mengenai investasi relokasi dan juga rekonfigurasi dari rantai pasok," ujarnya.
Tak heran, kini semakin muncul hubungan pertemanan antar negara yang retak. Contohnya, hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan Kanada, serta Amerika Serikat dan Meksiko.
"Keputusan investasi relokasi rekonfigurasi dari rantai pasok selama ini yang dianggap aman yang friendshoring sudah tidak ada lagi sekarang definisi friends sudah tidak ada lagi," ungkapnya.
AS yang selama ini menjadi promotor perdagangan bebas antara Kanada, Meksiko dan Amerika berbelok setelah kepimpinan Trump. Hubungan investasi dan perdagangan kini berjalan unilateral.
"AS secara sepihak menyampaikan, meng-impuls (memantik) tarif Trump tiba-tiba menerapkan kepada negara tetangganya, Nafta, tiba-tiba tetangga dikenakan tarif 10% untuk dan energi 25% untuk komoditas lainnya," kata Sri Mulyani.
Adapun, pengenaan tarif yang lebih tinggi ini sudah dikenakan sejak masa pemerintahan Trump periode pertama 2017-2021. Pada periode kedua, tarif terhadap negara-negara tetangga tersebut ditambah 10%.
"Reaksinya sungguh luar biasa cek Google ini luar biasa negatif," ungkapnya.
Di tengah perang dagang ini, Sri Mulyani mengatakan Presiden Prabowo Subianto mengingatkan bahwa Indonesia harus memperkuat diri karena ini adalah situasi yang tidak biasa dan sangat unilateral.
"Maka dari itu Presiden Prabowo mengingatkan harus menguatkan diri karena dunia bukan dalam situasi yang biasa kita kenal, sangat unilateral," tegas Sri Mulyani.
Harga-harga komoditas ekspor andalan Indonesia pun sudah mulai berjatuhan akibat berubahnya tatanan ekonomi dunia itu, kecuali minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO).
Sri Mulyani mengatakan, harga CPO secara tahunan atau year on year naik 27,8%, demikian juga secara bulanan atau month to month yang naiknya 2,1%. Walaupun, secara year to date hanya minus 0,5% menjadi US$ 1.095/ton.
"Kalau ada sedikit berita baik, harga CPO mengalami recovery yoy (year on year), dibandingkan tahun lalu," kata Sri Mulyani.
Adapun untuk komoditas lain, seperti batu bara anjlok. Secara tahunan minus 12,6% menjadi senilai US$ 104,6/metric ton, secara year to date bahkan anjloknya 16,5% dan secara bulanan atau month to month minus 1%.
Untuk harga nikel masih mengalami perbaikan secara bulanan dengan kenaikan sebesar 6,6%, demikian juga secara tahun berjalan atau year to date dengan tumbuh 8%. Sedangkan yoy minus 6% menjadi US$16.551/MT
"Dan harga komoditas yang mengalami koreksi masih berlangsung hingga sekarang adalah harga pangan karena masih bervariasi," paparnya.
(arj/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Trumpcession Ancam Ekonomi Global
Next Article Sri Mulyani Siap Dibantu Trio Wamen: Suahasil, Tommy & Anggito