Ancam Kesehatan Anak, Aturan Iklan Kental Manis Justru Lemah

5 hours ago 1

Harianjogja.com, JAKARTA—Lemahnya regulasi soal iklan kental manis akan mengancam kesehatan anak di Indonesia. Sejumlah pegiat di bidang kesehatan pun mendesak pemerintah untuk membenahinya.

Iklan kental manis kerap dipersepsikan masyarakat sebagai susu menjadi salah satu sorotan UNICEF dalam laporan Child Nutrition Report 2025. Iklan tersebut berdampak pada peningkatan paparan anak terhadap iklan makanan dan minuman tinggi gula yang dipasarkan secara agresif.

Terkait hal itu, Project Lead for Food Policy, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Nida Adzilah Auliani menyebut regulasi iklan di Indonesia masih lemah dalam melindungi anak dari paparan promosi makanan dan minuman tidak sehat.

"Regulasi iklan di Indonesia saat ini masih belum efektif, terutama dalam melindungi konsumen dari disinformasi dan praktik pemasaran yang menyesatkan. Terlebih dengan adanya kanal digital, termasuk media sosial, memperkuat pengaruh pemasaran yang tidak sehat," kata Nida, Sabtu (11/10/2025).

Nida menyebut iklan kental manis mulai menjadi perhatian publik sejak ditemukan sejumlah kasus gizi buruk pada anak yang disebabkan oleh konsumsi kental manis sejak usia dini. Bahkan, sejumlah korban telah mengkonsumsi sebagai pengganti ASI sejak usia 3 bulan.

Maka dari itu, per Oktober 2018 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mulai menegaskan bahwa kental manis bukan minuman untuk sumber gizi dan dilarang dijadikan sebagai pengganti ASI, yang diatur melalui Peraturan BPOM No. 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.

Namun demikian, dampak dari iklan tersebut masih terasa hingga kini, sebab masyarakat yang masih menganggap kental manis sebagai minuman susu untuk anak.

Oleh karena itu, Nida menilai pengawasan iklan dan distribusi produk tak bisa dipandang sebelah mata. Lebih lanjut, ia berharap pemerintah dapat membuat kebijakan pangan secara komprehensif. Mulai dari pelabelan hingga pemasaran produk yang mudah diakses oleh anak-anak.

"Kebijakan ini harus meliputi label depan kemasan berbasis bukti, pembatasan pemasaran produk tidak sehat, serta lingkungan pangan sehat di sekolah," ujar Nida.

Senada dengan itu, Peneliti dari Universitas Internasional Batam (UIB) Rahmi Ayunda menyebut keberadaan ruang digital yang sangat ramai menjadikan promosi dan iklan ultra-processed food menjadi begitu dekat dengan masyarakat.

Ia mengungkapkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2024 mencatat 221,6 juta pengguna internet (sekitar 79,5 persen populasi), dan 9,2 persen di antaranya anak di bawah 12 tahun.

"Artinya, jutaan anak menghabiskan waktu di jalan raya informasi, di mana promosi menyatu dengan hiburan. Iklan tak selalu tampil sebagai iklan; bisa berupa tantangan lucu, ulasan jujur, atau karakter favorit yang menyarankan camilan manis," katanya.

"Di sinilah aspek hukum menjadi krusial, anak belum memiliki kapasitas kognitif untuk membedakan mana hiburan dan mana ajakan membeli, sehingga mereka berhak atas proteksi khusus dari praktik promosi yang mengecoh," tutur Rahmi Ayunda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Antara

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|