Foto ilustrasi bantuan sosial (bansos), dibuat menggunakan Artificial Intelligence - AI.
Harianjogja.com, BANTUL—Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Bantul menambah program penyaluran bantuan sosial (bansos) yang berasal dari APBD tahun 2025. Bantuan itu diharapkan bisa menanggulangi persoalan kemiskinan bagi warga di wilayah setempat dengan fokus pada Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial Dinsos Bantul, Tri Galih Prasetya mengatakan, Pemkab Bantul sebelumnya memiliki program bansos Boga Sehat yang berasal dari APBD dengan menyasar 1.112 warga lansia, namun anggarannya merupakan kolaborasi antara daerah, provinsi dan juga pusat.
Pada pengesahan APBD perubahan 2025 lalu Pemkab setempat memutuskan untuk menambah program bansos khusus dari anggaran daerah dengan menyasar 1.154 keluarga penerima manfaat (KPM) dan diberikan selama empat bulan, September hingga Desember ini.
BACA JUGA: DPR RI Desak Tindakan Konkret Terkait Solusi 2 Negara Palestina
“Ini program baru dan penggagasnya dari Bappeda, kami harapkan ini juga bisa menekan angka kemiskinan terutama kemiskinan ekstrem,” ujarnya, Kamis (15/9/2025).
Menurut Galih, penyaluran bansos berbasis APBD sifatnya bergantung pada anggaran. Adapun pada 2026, pihaknya belum bisa memastikan apakah program BPNT itu akan dilanjutkan atau tidak. “Masih menunggu proses penganggaran. Kemarin Pak Bupati memang menghendaki dilanjutkan, tapi tetap tergantung keputusan Bappeda,” katanya.
Galih menegaskan, bansos yang diberikan pemerintah hanya bersifat membantu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Oleh karena itu, efektivitas penurunan kemiskinan ekstrem tidak bisa ditopang bansos semata, melainkan harus disinergikan dengan program pemberdayaan ekonomi, kesehatan, hingga pendidikan.
“Harapannya dengan bantuan ini beban pengeluaran berkurang. Namun untuk benar-benar keluar dari kemiskinan ekstrem, tetap butuh dukungan lintas sektor,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) akhir 2024, angka kemiskinan ekstrem di Bantul tercatat 0,82% atau sekitar 8.008 jiwa. Tiga kapanewon dengan jumlah terbanyak adalah Sewon (1.083 jiwa), Imogiri (998 jiwa), dan Dlingo (871 jiwa).
Panewu Imogiri, Slamet Santosa menyebut upaya penanggulangan kemiskinan memang sudah dilakukan pemerintah dari berbagai level, tapi hasilnya belum signifikan. Faktor budaya, ketergantungan pada sektor pertanian yang hasilnya fluktuatif, serta keterbatasan akses wilayah menjadi penyebab utama.
BACA JUGA: Pemkab Bantul Benarkan Ada Klausul Kerahasiaan dalam Program MBG
“Mayoritas warga kami bekerja sebagai petani. Kalau dihitung, biaya produksi seringkali lebih besar daripada hasil. Ditambah kondisi wilayah yang marginal dan jauh dari pusat keramaian,” ucap Slamet.
Meski begitu, Slamet menilai sektor wisata mulai memberi dampak positif. Contohnya di Desa Wisata Wukirsari Imogiri, warga yang semula hanya bekerja sebagai buruh batik kini bisa memperoleh penghasilan tambahan dengan membuka jasa edukasi batik bagi wisatawan.
“Dulu hanya jual kain batik, sekarang mereka juga dapat penghasilan dari keterampilan mendampingi wisatawan. Efeknya berganda ke kuliner dan produk lokal lainnya,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News