Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat telah terbang jauh dari level kisaran Rp 15.900 pada 13 Desember 2024, menuju level Rp 16.300 per dolar AS.
Melansir data Refinitiv, pada penutupan perdagangan kemarin (19/12/2024) rupiah anjlok hingga 1,24% ke level Rp16.285/US$. Pelemahan lebih dari 1% ini adalah yang terdalam sejak 7 Oktober 2024 yakni sebelumnya sebesar 1,26%.
Sepanjang hari kemarin, nilai tukar rupiah berfluktuasi hingga sentuh level Rp16.130/US$ dan terjauh di posisi Rp16,300/US$. Pelemahan ini adalah yang terdalam sejak 30 Juli 2024 dengan sebelumnya berada pada posisi Rp16.295/US$.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pun telah buka suara menjelaskan penyebab kurs rupiah terbang dari level Rp 15.900 ke atas Rp 16.200. Ia menegaskan,pelemaham kurs rupiah disebabkan kondisi ketidakpastian global yang semakin tinggi.
"Pelemahan nilai tukar rupiah tersebut dipengaruhi oleh makin tingginya ketidakpastian global," kata Perry dalam rilis hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Rabu (19/12/2024).
Ketidakpastian global utamanya terkait arah kebijakan AS di bawah pemerintahan Presiden terpilih Donald Trump, ruang penurunan suku bunga acuan Bank Sentral AS Fed Fund Rate atau FFR yang lebih rendah, penguatan mata uang dolar AS secara luas, serta risiko geopolitik yang mengakibatkan berlanjutnya preferensi investor gloal untuk pindahkan alokasi portofolio ke AS.
Meski demikian Perry melihat pelemahan rupiah masih dalam batas terkendali. Dibandingkan negara setara, rupiah masih lebih baik terutama terhadap dolar Taiwan, peso Filipina dan won Korea Selatan.
"Ke depan rupiah diperkirakan akan stabil didukung komitmen BI menjaga stabilitas rupiah imbal hasil yang menarik inflasi yang rendah dan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap baik," tegas Perry.
Selain itu, dia mengungkapkan tekanan pada rupiah ternyata turut dipengaruhi sentimen negatif pelaku pasar keuangan terhadap perkembangan kasus dugaan korupsi penggunaan dana corporate social responsibility (CSR) program sosial Bank Indonesia.
Sebagaimana diketahui, pada Senin malam, 16 Desember 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK telah menggeledah kantor pusat Bank Indonesia. Beberapa ruangan diperiksa sejak malam hingga subuh, termasuk ruang kerja Gubernur Bank Indonesia di Gedung Thamrin BI, Jakarta.
"Segala berita itu berpengaruh ke kondisi pasar termasuk nilai tukar rupiah, tentu saja demikian," kata Perry.
Perry memastikan, BI akan terus merespons sentimen negatif itu dengan melakukan berbagai langkah stabilisasi rupiah, termasuk langkah-langkah intervensi melalui operasi moneter dengan pembelian SBN di pasar sekunder hingga melalui instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia atau SRBI.
"Tentu saja BI dengan berbagai berita-berita yang berpengaruh ke pasar termasuk nilai tukar rupiah, BI terus komitmen jaga stabilitas nilai tukar rupiah," tegasnya.
Sementara itu, berdasarkan catatan tim riset CNBC Indonesia, faktor pelemahan rupiah memang cukup banyak didominasi oleh situasi eksternal khususnya yang datang dari AS. Berikut ini rinciannya:
1. Ekspektasi Pemangkasan Fed Fund Rate (FFR) 2025
Pada Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed menunjukkan bahwa mereka mungkin hanya akan menurunkan dua kali lagi pada 2025. Ekspektasi tersebut tercermin dari dot plot terbaru Desember ini. Dot plot merupakan matriks ekspektasi dan pandangan suku bunga masa depan dari masing-masing anggota Federal Open Market Committee (FOMC).
Dot plot terbaru ini lebih pesimis dibandingkan sebelumnya. Merujuk dot plot terbaru, dua pemotongan yang diekspektasikan pada 2025 ini hanya setengah dari target komite ketika plot tersebut terakhir diperbarui pada September dengan ekspektasi pemangkasan sebesar 100 bps pada 2025.
"Dengan langkah hari ini, kami telah menurunkan suku bunga sebesar satu poin persentase dari puncaknya, dan stance kebijakan kami kini jauh lebih longgar. Oleh karena itu, kami bisa lebih berhati-hati saat mempertimbangkan penyesuaian lebih lanjut terhadap suku bunga kebijakan kami." ujar Chairman The Fed Jerome Powell di konferensi pers usai rapat.
Lebih lanjut, pejabat Fed menunjukkan dua pemotongan lagi pada 2026 dan satu lagi pada 2027. Dalam jangka panjang, komite memandang suku bunga "netral" berada pada 3%, 0,1 poin persentase lebih tinggi dibandingkan pembaruan September, karena tingkat ini secara perlahan meningkat sepanjang tahun ini (3% vs 2,9%).
Hal ini juga disetujui oleh Global Markets Economist Maybank Indonesia,MyrdalGunarto yang mengungkapkan bahwa pelemahan rupiah terjadi karena ekspektasi penurunan suku bunga.
"Jadi wajar kalau rupiah melemah karena ekspektasi penurunan suku bunga The Fed yang seharusnya turun 100 bps, malah jadi 50 bps," ujar Myrdal kepada CNBC Indonesia.
Senada dengan Myrdal, Head of Treasury & Financial Institution Bank Mega, Ralph Birger Poetiray menilai pelemahan rupiah wajar terjadi karena The Fed tidak hawkish untuk pemotongan suku bunga acuan tahun depan.
Sedangkan Ekonom Senior KB Valbury Sekuritas, Fikri Permana mengatakan bahwa ada kekhawatiran perihal Trump tariff ke depan.
"Kekhawatiran fragmented economy dikarenakan Trump tarif dan capital flight to safety yang cukup besar akan dilakukan oleh investor global," papar Fikri.
"Jadinya akan ada capital outflow di Indonesia," tegasnya.
Kondisi ini mengakibatkan aliran modal asing terus keluar dari Indonesia. Data transaksi aliran modal asing BI per 9-12 Desember 2024 menunjukkan investor asing melakukan aksi jual neto sebesar Rp1,31 triliun di pasar saham, beli neto sebesar Rp8,84 triliun di pasar SBN, dan jual neto sebesar Rp0,20 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Namun jika ditarik lebih panjang, investor asing sejak pekan kedua Oktober hingga pekan pertama Desember 2024, terpantau net foreign sell sebesar Rp47 triliun.
2. Inflasi AS Tercatat Lebih Tinggi
Baik Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Indeks Harga Produsen (IHP) AS untuk periode November secara year on year/yoy terpantau naik lebih tinggi yakni masing-masing sebesar 2,7% yoy & 3% yoy.
Ekonom Sucor Sekuritas, Ahmad Mikail menyampaikan bahwa IHP AS yang lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar membuat rupiah tertekan.
Sebagai informasi, IHP sangat dipantau oleh para ekonom dan investor karena mengukur tingkat inflasi dari perspektif produsen dengan melacak perubahan harga barang yang dijual oleh produsen. Indikator ini dianggap sebagai petunjuk awal inflasi harga konsumen, yang menyumbang sebagian besar dari total inflasi.
Kenaikan IHP menunjukkan bahwa produsen sedang menghadapi biaya yang lebih tinggi, yang mungkin akan diteruskan ke konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan inflasi konsumen, yang sering kali diikuti dengan kenaikan suku bunga. Kenaikan suku bunga umumnya akan memperkuat USD karena menarik investor asing yang mencari imbal hasil lebih tinggi dari investasi mereka.
Sebagai kesimpulan, data IHP terbaru dengan angka yang lebih tinggi dari perkiraan mengarah pada tren bullish untuk USD. Ini juga menegaskan potensi peningkatan inflasi, yang dapat lebih memperkuat dolar hijau dalam waktu dekat.
Hal ini juga ditanggapi oleh Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan mengemukakan bahwa progress penurunan inflasi yang lambat membuat rupiah kembali tertekan.
Sebagai informasi, sejak dahulu, The Fed menargetkan target inflasi AS yakni di angka 2%. Sedangkan kondisi saat ini justru tampak inflasi kembali menjauhi target tersebut.
3. Imbal Hasil Surat Utang AS Melesat
Imbal hasil US Treasury untuk tenor dua, lima, dan 10 tahun tercatat mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada penutupan perdagangan kemarin.
Sebagai contoh pada imbal hasil US Treasury tenor dua tahun terpantau naik 2,69% ke angka 4,355%. Tenor lima tahun naik 3,18% ke angka 4,383%. Tenor 10 tahun naik 2,58% ke angka 4,498% pada 18 Desember 2024.
Ahmad juga menegaskan bahwa naiknya imbal hasil US Treasury menjadi penekan rupiah belakangan ini.
(arj/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Rupiah Terus Melemah, Pasar Waspadai Ini
Next Article BI Ungkap 3 Biang Kerok Pelemahan Rupiah, Dolar Tembus Rp 16.295