Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah studi baru menunjukkan bahwa kenaikan pajak yang tajam pada lima dekade yang lalu berkontribusi pada penurunan kesuburan yang tajam di Korea Selatan. Hasil penelitian tersebut disebutkan bahwa hal ini dapat menjadi pelajaran bagi para pembuat kebijakan saat ini.
Mengutip Newsweek, yang telah menghubungi Kedutaan Besar Korea Selatan di Amerika Serikat untuk meminta komentar di luar jam kerja ada beberapa poin penting terkait fakta tersebut.
Tingkat kesuburan Korea Selatan sepertinya merupakan penurunan tercepat di dunia industri, yaitu turun dari sekitar 4,5 kelahiran per wanita pada tahun 1970 menjadi 0,72 pada tahun 2023. Angka tersebut jauh di bawah angka 2,1 kelahiran yang dibutuhkan untuk mempertahankan populasi.
Negara ini sekarang memiliki tingkat kelahiran terendah di dunia. Bahkan menjadi sebuah tren yang dianggap oleh pemerintah sebagai keadaan darurat nasional.
Meskipun telah mengeluarkan lebih dari US$ 200 miliar untuk pengeluaran pro-kelahiran sejak tahun 2006, pemerintah Korea Selatan gagal membalikkan tren tersebut. Tenaga kerja yang menua dengan cepat telah memperburuk krisis demografis. Saat ini para penduduk yang berusia 65 tahun ke atas mencakup seperlima dari populasi.
Penelitian ini meninjau kebijakan pajak Korea Selatan selama beberapa dekade. Temuannya menunjukkan bahwa tekanan ekonomi yang ditimbulkan oleh kebijakan-kebijakan tersebut masih terasa hingga saat ini.
Beban pajak bagi warga Korea relatif rendah pada tahun 1960-an dan awal tahun 70-an, sebagian besar bergantung pada pajak industri dan perdagangan.
Namun, reformasi pajak besar-besaran antara tahun 1974 dan 1976 dilakukan pemerintahannya. Saat itu pemerintah menaikkan pajak langsung seperti misalnya pajak pertambahan nilai (PPN), pajak konsumsi yang diterapkan pada setiap tahap produksi dan penjualan naik menjadi 20% dari 10%
Apalagi, kenaikkan pajak tersebut diikuti oleh penurunan pendapatan yang dapat dibelanjakan dan penurunan tajam jumlah kelahiran.
"Tingkat kesuburan di Korea Selatan telah turun dari 6 pada tahun 1950 menjadi kurang dari 1 pada tahun 2023, dan perubahan kesuburan yang diamati dari waktu ke waktu tampaknya selaras dengan pergeseran kebijakan pajak Korea Selatan," tulis salah satu penulis dan peneliti Universitas Oxford, Joan Madia, dalam sebuah siaran pers yang menyertai penelitian tersebut.
Untuk mendukung hal ini, Madia merujuk pada reformasi pajak yang terjadi pada pertengahan tahun 1990-an, yang menurunkan tarif pajak di seluruh basis yang lebih luas. Hal ini mungkin menjelaskan penurunan tingkat kesuburan yang tidak terlalu mencolok selama beberapa tahun berikutnya.
Penelitian ini juga memperhitungkan faktor-faktor lain yang diketahui mempengaruhi keputusan untuk memiliki anak, termasuk partisipasi tenaga kerja perempuan, tingkat pendidikan yang lebih tinggi di kalangan perempuan dan penggunaan kontrasepsi.
Joan Madia, salah satu penulis dan peneliti di University of Oxford, mengatakan, penelitiannya menunjukkan bahwa perpajakan dapat menjadi alat kebijakan yang efektif untuk memengaruhi dinamika populasi dan tren demografi. Ini juga mengindikasikan bahwa pajak yang menyasar keluarga dan mengurangi keterjangkauan anak kemungkinan besar akan memengaruhi kesuburan.
Francesco Moscone, salah satu penulis studi lainnya dan profesor ekonomi bisnis di Brunel University of London, menyebut peran kebijakan perpajakan terhadap kesuburan agak terabaikan.
"Pajak tidak hanya berdampak pada rekening bank kita; pajak juga dapat membentuk perencanaan ekonomi jangka panjang dan keputusan terkait perluasan keluarga," sebutnya
"Ketika beban pajak meningkat, biaya membesarkan anak juga meningkat, yang dapat menghalangi orang untuk memiliki lebih banyak anak," ungkapnya.
Moscone menyarankan para pemangku kebijakan untuk mengadopsi kebijakan pajak yang lebih ramah keluarga, termasuk kredit pajak anak, dalam upaya mereka mendorong pasangan untuk memulai dan memperluas keluarga.
Tahun lalu, Korea Selatan memperkenalkan kredit pajak pernikahan hingga 1 juta won (sekitar US$ 690) untuk pasangan yang mendaftarkan pernikahan mereka sebelum tahun 2026, di samping kredit pajak yang lebih tinggi untuk setiap anak.
Namun, apakah kebijakan insentif ini akan berdampak signifikan pada tingkat kelahiran masih belum dapat dipastikan di negara di mana generasi muda menghadapi biaya perumahan yang tinggi dan semakin memprioritaskan kepuasan pribadi dan karier di atas peran keluarga tradisional.
(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Warga Tuntut Pemakzulan Presiden Korsel Dibatalkan
Next Article Video: Buntut Darurat Militer Korsel, Presiden Yoon Dicekal