Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswasta mengungkapkan kronologis di balik kolapsnyaa 60 pabrik tekstil yang menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 250 ribu buruh selama periode 2022-2024. Fenomena ini menunjukkan adanya krisis serius yang melanda industri tekstil nasional akibat derasnya tekanan barang impor, baik legal maupun ilegal.
Menurut Redma, industri tekstil Indonesia sebetulnya telah pulih dari dampak pandemi COVID-19 pada tahun 2022.
"Sepanjang 2022, pertumbuhan industri kita sudah mencapai 9%, artinya kita sudah positif," ungkap Redma kepada CNBC Indonesia, Jumat (3/1/2025).
Pulihnya industri saat itu, katanya, didorong oleh kebijakan "zero COVID" diberlakukan China, yang menyebabkan pelabuhan Negeri Tirai Bambu itu ditutup hingga kuartal III-2022. Karena itu, pasar lokal Indonesia sepenuhnya didominasi oleh produk dalam negeri, dan pertumbuhan industri pulih. Namun, situasi berubah drastis pada kuartal IV-2022 ketika China mulai melonggarkan kebijakan tersebut.
"Pelabuhan di China mulai dibuka, dan barang-barang dari sana mulai membanjiri pasar Indonesia," sambungnya.
Kondisi tersebut menandai awal dari tekanan besar pada industri tekstil lokal.
Masuknya produk impor dari China, yang dijual dengan harga sangat murah akibat overstock selama hampir dua tahun, menjadi faktor utama yang memukul industri tekstil Indonesia sepanjang 2023.
Foto: Suasana kondisi ribuan alat mesin jahit yang ditutup kain dan tidakk terpakai di kawasan pabrik garmen, Kabupaten, Bogor, Kamis, (13/6/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Suasana kondisi ribuan alat mesin jahit yang ditutup kain dan tidakk terpakai di kawasan pabrik garmen, Kabupaten, Bogor, Kamis, (13/6/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
"Barang-barang dari China masuk dalam jumlah besar, menekan produk lokal. Sepanjang 2023, banyak perusahaan mulai mengurangi tenaga kerja, mulai ada PHK," ungkap dia.
Meski demikian, pada 2023 sebagian besar perusahaan masih mampu bertahan meskipun dengan kapasitas produksi yang menurun. Banyak pabrik yang mengurangi tenaga kerja mereka secara bertahap sebelum akhirnya benar-benar tutup di tahun berikutnya.
Namun tahun 2024 menjadi puncak krisis bagi industri tekstil nasional.
"Sepanjang 2023, PHK terus terjadi. Sementara pada 2024, banyak pabrik akhirnya memutuskan untuk tutup secara permanen," kata Redma.
Beberapa contoh mencolok termasuk Alenatex yang mem-PHK 700 pekerja sekaligus menutup pabriknya, serta Asia Pacific Fiber di Karawang yang mem-PHK 2.500 karyawan pada akhir 2024 setelah serangkaian PHK bertahap sebelumnya.
Selain itu, ada kasus seperti Sulindafin yang memilih tutup penuh pada 2024 setelah beberapa kali menghentikan produksi. Perusahaan ini awalnya melakukan PHK besar-besaran pada 2022, memberikan pesangon, lalu beroperasi kembali dengan sistem kerja harian pada 2023 sebelum akhirnya menyerah pada tekanan pasar.
Redma menekankan, impor ilegal atau penyelundupan turut memperparah kondisi industri tekstil nasional. Barang-barang ilegal tersebut masuk ke pasar Indonesia dengan harga jauh di bawah rata-rata, membuat produk lokal sulit bersaing.
"Penyebab utama yang menyebabkan perusahaan-perusahaan ini tutup adalah karena serbuan impor, baik yang legal maupun ilegal," tegasnya.
Lebih lanjut, meski APSyFI mencatat total estimasi PHK mencapai 250 ribu orang, Redma mengakui sulitnya mendapatkan data pasti dari tiap perusahaan. Dia pun mengklaim bahwasanya ada lebih dari 250 ribu pekerja ter-PHK dan 60 pabrik yang kolaps.
"Banyak perusahaan yang tidak melaporkan jumlah PHK mereka secara rinci dan hanya melaporkan ketika mereka tutup sepenuhnya," jelasnya.
Data tersebut dihitung berdasarkan penurunan utilisasi produksi yang menjadi indikasi berkurangnya kebutuhan tenaga kerja.
Sebelumnya, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan membuka data terkait dengan jumlah pabrik tekstil yang kolaps mencapai 60 pabrik dengan jumlah PHK sekitar 250 ribu orang. Ini terjadi dalam kurun waktu 2022 hingga 2024.
Pria yang akrab disapa Noel tersebut mengungkapkan data tersebut dia dapatkan dari Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (APSyFI), Redma Gita Wirawasta. Penyebab kolapsnya 60 pabrik tekstil tersebut karena impor ilegal (penyelundupan) yang memperparah kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
"Menurut APSyFI, dalam dua tahun terakhir 60 pabrik terancam oleh impor ilegal, sehingga terjadi 250 ribu Pemutusan Hubungan Tenaga Kerja (PHK). Saya bertanya, apakah data APSyFI benar? Kalau benar, maka instansi terkait hendaknya mengambil langkah konkret," katanya dalam keterangan tertulis dikutip Jumat (3/1/2025).
(wur)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Emiten Tekstil Pan Brothers Bebas dari Pailit
Next Article Duh! Pabrik Sarung Panamtex di Pekalongan Pailit, Begini Penampakannya