REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi Universitas Hasanuddin (Unhas) menegaskan, pemanfaatan kawasan hutan yang berstatus Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dengan menjual atau membelinya tetap melanggar aturan.
“Harus diperjelas dulu, hutan adat atau hutan negara," kata Guru Besar Hukum Agraria, Sumber Daya Alam dan Pertambangan Unhas, Abrar Saleng dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (26/12/2026).
Penegasan ini terkait maraknya klaim kepemilikan lahan di area hutan lindung dan konservasi oleh pihak-pihak tertentu. Bahkan diduga ada praktik jual-beli kawasan hutan oleh sekelompok masyarakat pada beberapa wilayah yang berstatus PPKH seperti di Karendan dan Muara Pari Barito Utara, Kalimantan Tengah (Kalteng). Ia menjelaskan, hutan itu tanah negara bukan tanah hak.
"Jika ada PPKH maka di Barito Utara itu hutan negara sehingga apabila ada masyarakat di Barito Utara yang mengklaim punya sertifikat maka itu ilegal. Jadi, kalau ada masyarakat menjual hutan dan kalau itu hutan negara maka melanggar hukum,” katanya.
Karena itu, ia menilai, penegakan hukum yang baik penting terhadap penyalahgunaan tanah negara secara ilegal ini. Apabila terjadi penyalahgunaan tanah negara dapat berdampak negatif terhadap ekosistem lingkungan, ekonomi dan sosial daerah serta nasional.
Kepala Desa Muara Pari Barito Utara Mukti Ali dalam keterangannya mengakui, ada lahan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang berizin resmi di wilayahnya dengan status lahan PPKH. Warga pun sudah mendapatkan tali asih dari pemegang PPKH yang dibagi kepada Desa Karendan dan Muara Pari.
Terkait klaim kepemilikan hutan milik negara, dia mengaku bukan oleh warganya. "Pihak-pihak yang mengklaim justru dari luar wilayah alias bukan penduduk asli. Untuk tali asih warga Muara Pari sudah diserahkan,” kata Ali.
Menurut Ali, warga Muara Pari memiliki hak kelola atas 190 hektare (ha) lahan itu sejak lama. Namun, kini pemerintah mengeluarkan PPKH untuk dikelola pihak lain. Namun karena patuh terhadap aturan, warga pun mengikuti mekanisme sesuai peraturan perundang-undangan.
“Memang ada yang menjual lahan itu kepada perorangan. Tetapi bukan warga Muara Pari, malah di wilayah kami juga, dijual oleh sekelompok orang tersebut,” katanya.
Sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Fahri Bachmid dalam "Simposium Nasional Masyarakat Adat Barito Utara 2025" memaparkan, negara mengakui kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Namun mensyaratkan pengakuan formal melalui peraturan daerah (perda),” katanya.
Artinya, hutan adat baru diakui secara hukum apabila keberadaan masyarakat hukum adat tersebut telah ditetapkan melalui perda. Tanpa pengakuan formal tersebut, katanya, maka secara yuridis tidak terdapat dasar hukum untuk menyatakan suatu kawasan sebagai hutan adat.
Sementara itu, pada berbagai kajian disebutkan bahwa hingga saat ini Barito Utara belum memiliki penetapan resmi berupa perda. Dengan demikian, kawasan hutan di Barito Utara tetap dikategorikan sebagai kawasan hutan negara sehingga setiap klaim atas nama hutan adat harus diuji secara ketat berdasarkan kerangka hukum yang berlaku.
Hal itu agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, konflik sosial maupun penyalahgunaan lahan negara. Bahkan, pada awal Desember tahun ini, terkait jual-beli kawasan hutan, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menegaskan bahwa kawasan hutan di Indonesia tidak dapat diperjualbelikan karena sudah diatur secara jelas dalam perundang-undangan.
“Hutan tak boleh diperjualbelikan. Hutan itu bukan komoditas untuk itu," kata Nusron.
sumber : ANTARA

2 hours ago
1
















































