Kebijakan Trump Dinilai Hambat Akses Publik atas Informasi Krisis Iklim

2 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mayoritas masyarakat global menyatakan keinginan kuat agar pemerintah mengambil langkah lebih tegas dalam menghadapi perubahan iklim. Namun, lemahnya arus informasi dan maraknya disinformasi dinilai menghambat pemahaman publik terhadap krisis iklim, terutama di Amerika Serikat.

Sekitar 89 persen masyarakat dunia menyatakan ingin lebih banyak aksi iklim, dan tujuh dari sepuluh responden bersedia menyumbangkan satu persen pendapatan mereka untuk menekan pemanasan global. Temuan tersebut sejalan dengan laporan Yale Program on Climate Change Communication yang menunjukkan lebih dari 80 persen masyarakat Indonesia mendukung target penurunan emisi mendekati nol pada 2060.

Survei serupa di Amerika Serikat mencatat sekitar dua pertiga responden mengaku khawatir terhadap pemanasan global. Namun, sebagian besar responden hanya mengakses berita perubahan iklim beberapa kali dalam setahun, menunjukkan rendahnya paparan informasi di negara dengan perekonomian terbesar dunia itu.

Kondisi tersebut dinilai semakin problematis ketika pemerintahan Presiden AS Donald Trump secara terbuka menolak konsensus ilmiah mengenai perubahan iklim. Trump dan lingkarannya mendorong narasi yang menyebut perdagangan energi bersih sebagai ancaman serta melabeli laporan jurnalis sebagai hoaks.

“Pemerintah Trump mempermainkan wartawan dalam isu konsekuensial ini,” kata jurnalis iklim Heatmap News Jael Holzman, dikutip dari Deutsche Welle, Senin (29/12/2025).

Holzman menyebut pemerintah AS kerap mengalihkan isu dengan pernyataan tidak relevan dan menyebarkan klaim menyesatkan mengenai energi bersih. Salah satunya adalah tudingan bahwa pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai memicu kematian paus, klaim yang telah dibantah para ilmuwan.

Menurut komunitas ilmiah, kematian paus di pesisir lebih banyak dipicu aktivitas kapal dan jerat nelayan, bukan proyek energi angin. Namun isu tersebut justru mendapat sorotan luas dari politisi dan publik.

Pola serupa juga muncul saat kebakaran fasilitas penyimpanan baterai Moss Landing di California. Pernyataan Kepala Badan Perlindungan Lingkungan AS Lee Zeldin mengkritik proyek penyimpanan energi, sementara konteks teknis bahwa kebakaran dipicu teknologi lama luput dari pemberitaan.

“Dampak pemerintah Trump terhadap berita ini disengaja,” ujar Holzman. Ia menilai penolakan terhadap urgensi penanganan perubahan iklim menjadi strategi untuk menunda aksi.

Selain menyebarkan klaim palsu, pemerintah AS saat itu juga dinilai membatasi akses data lingkungan. Sejumlah situs pelacakan kebijakan lingkungan dilaporkan menghilang, sementara portal informasi iklim climate.gov berhenti diperbarui dan sebagian data iklim dihapus dari situs resmi pemerintah.

“Perubahan iklim telah dihapus dari situs web pemerintah, mereka menurunkan sejumlah kumpulan data utama, dan mematikan program iklim di NASA,” kata Direktur Yale Program on Climate Change Communication Anthony Leiserowitz.

Leiserowitz mengingatkan, selama ini Amerika Serikat menjadi salah satu sumber utama data dan sains iklim global. Pembatasan akses informasi tersebut berpotensi menghambat upaya penanggulangan perubahan iklim secara internasional.

Di sisi lain, penurunan liputan iklim juga dipengaruhi krisis industri media. Penelitian Universitas Northwestern mencatat hampir 3.500 surat kabar lokal di AS tutup sejak 2005, sementara gelombang PHK menekan liputan isu kompleks seperti sains dan iklim.

Meski demikian, sejumlah media arus utama dan independen masih mempertahankan desk khusus iklim, termasuk NPR, The New York Times, The Washington Post, The Associated Press, serta media independen seperti Heatmap News dan Canary Media.

“Jika orang-orang tidak tertarik pada topik-topik ini, saya tidak akan punya pekerjaan,” kata Holzman, menegaskan masih adanya audiens yang membutuhkan informasi mendalam tentang krisis iklim.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|