Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria mengungkapkan ada tujuh tantangan besar pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligent) di tanah air, terutama terkait etika. Tantangan pertama terkait bias dan diskriminasi, karena AI menggunakan data yang berisi alogaritma tertentu. Alogaritma ini, tidak luput dari bias developer yakni seseorang yang memiliki kepercayaan tertentu.
"Data diambil dari sejumlah sumber yang ada bias mengarah ke ras, agama, suku dan kelompok tertentu," kata Nezar dalam CNBC Indonesia Tech and Telco Summit 2025, Jumat (21/2/2025).
Kedua, transparansi dan akuntabilitas. Banyak sistem AI yang beroperasi sebagai 'kotak hitam' dengan proses internal yang tidak jelas. Hal ini menyebabkan kesulitan untuk melihat bagaimana keputusan dibuat dan siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kesalahan.
Menurutnya, banyak riset yang mencoba memecahkan cara kerja 'kotak hitam' AI, namun masih cukup sulit untuk menentukan keputusan dari kecerdasan buatan ini.
Ketiga adalah privasi, keamanan, dan pengawasan. Nezar mengatakan data yang dibutuhkan AI sangat banyak, dan terkadang berupa data sensitif. Hal ini pun menimbulkan kekhawatiran tentang pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan data pribadi.
Keempat, penggantian tenaga kerja, yang kini juga ramai dibicarakan di banyak negara. Meski ada risiko penggantian pekerjaan manusia, AI disebut membuka peluang pekerjaan baru yang memerlukan kebijakan transisi yang tepat.
Kelima, kreativitas dan DNA kepemilikan. Nezar mengatakan banyak kekhawatiran terkait hak cipta suatu karya dari penggunaan AI, sehingga kepemilikan karya seni yang dihasilkan kecerdasan buatan ini menjadi isu yang kompleks.
Keenam, manipulasi sosial dan misinformasi. Alogaritma AI dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan misinformasi dan memperburuk perpecahan sosial hingga politik. Bahkan menurut Nezar, social engineering atau rekayasa sosial dapat dilakukan dengan AI, sampai pengembangan yang otonomus.
"Jadi tidak ada campur tangan manusia lagi. Bisa reasoning sendiri mengambil keputusan sendiri, dengan AI sedang berkembang dan akan menjadi tren," kata dia.
Tantangan terakhir adalah, senjata otonom. Pengembangan senjata otonom berbasis AI memerlukan regulasi internasional untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan akuntabilitas.
"Pengembangan AI yang etis adalah sebuah keniscayaan. AI yang etis, nilai keadilan yang menimbulkan kepercayaan. Penting sekali ada kepercayaan yang AI timbulkan tidak berbahaya (harmful), maka penting sekali bisa dipastikan regulasi yang dibuat," tutur Nezar.
(rah/rah)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Kementerian Komdigi Siapkan Aturan AI yang Mengikat
Next Article Tech and Telco Summit 2025 Siap Kupas Masa Depan 5G & AI