Jakarta, CNBC Indonesia - Modus penipuan online yang dinamai 'pig butchering' telah mencuri miliaran dolar AS dari korban di seluruh dunia. Popularitas pig butchering dilaporkan kian marak sejak pandemi Covid-19.
Secara sederhana, pig butchering memanfaatkan platform investasi palsu yang memanipulasi emosi korban untuk menggelontorkan dana dengan iming-iming imbal hasil dalam jumlah besar.
Biasanya, penipu mendekati korban dengan berperan seolah-olah sebagai sosok yang ingin berteman atau menjadi pasangan romantis. Mereka menghubungi korban biasanya lewat media sosial.
Di tengah pendekatan emosional tersebut, mereka lantas membujuk korban untuk berinvestasi di sebuah platform yang dijanjikan akan memberi keuntungan besar.
Menurut studi dari profesor keuangan John Griffin, selama 4 tahun, jaringan kriminal telah memindahkan uang lebih dari US$75 miliar (Rp 1.211 triliun) melalui mata uang kripto. Paling banyak menggunakan Tether.
Penipuan pig butchering juga dikaitkan dengan jaringan perdagangan manusia (human trafficking) di kawasan Asia Tenggara.
Mafia China di Balik Pig Butchering
Sosok kunci dari modus penipuan pig butchering, menurut laporan The Wall Street Journal dan dikutip dari The Economic Times, adalah Wan Kuok-koi alias 'Broken Tooth'.
Nama alias Broken Tooth ia sandang setelah mengalami kecelakaan motor di masa mudanya. Kecelakaan itu membuat giginya rusak.
Pria ini merupakan mantan mafia asal Makau yang memiliki reputasi untuk operasi-operasi penipuan atau scam. Popularitasnya menanjak di era 1990-an sebagai pemimpin geng '14K Triad'.
Ia pernah dipenjara selama 14 tahun atas kasus kriminal terorganisir dan pencucian uang. Setelah bebas, ia mengubah reputasinya sebagai pebisnis.
Meski hingga kini diduga masih terlibat organisasi kriminal, Wan tetap bebas dan belum diamankan oleh petugas kepolisian. Hal ini mencerminkan kegagalan dari penegak hukum global.
Markas Penipuan di Kamboja
Pada 2018 silam, Wan mendirikan asosiasi Hongmen di Kamboja. Kelompok itu mengklaim diri sebagai organisasi budaya, namun diduga terlibat dengan operasi kejahatan siber.
Aktivitas Hongmen meluas ke Myanmar dan membentuk markas di Dongmei Zone. Para investigator menyebut area tersebut sebagai salah satu markas sindikat penipuan paling awal.
Lembaga Keuangan AS mendespkripsikan Dongmei Zone sebagai pusat perdagangan manusia dan penipuan online.
Investigator mengatakan ribuan orang ditipu dengan janji palsu untuk mendapatkan pekerjaan legal di Kamboja. Namun, kenyataannya mereka ditipu dan dimasukkan ke Dongmei untuk melancarkan operasi penipuan besar.
Para korban dipaksa menyerahkan paspor mereka, membuat profil media sosial palsu, dan terlibat dalam aksi penipuan di bawah pengawasan ketat.
Lu Yihao, pria asal China yang sempat diperbudak di Dongmei selama 7 bulan mengatakan, "dari pengalaman pribadi saya, Dongmei secara spesifik dibangun untuk tujuan kriminal".
PBB mengestimasikan lebih dari 200.000 orang terjebak di pusat-pusat penipuan seperti itu yang tersebar di kawasan Asia Tenggara.
Meski AS sudah melancarkan investigasi dan sanksi di Malaysia, Thailand, dan Kamboja, namun upaya penegakkan hukum belum secara efektif membasmi praktik tersebut. Otoritas berdalih tantangan yuridiksi membatasi upaya-upaya yang dilakukan.
Sementara itu, Wan secara aktif membantah seluruh keterlibatan dalam aktivitas kriminal tersebut. Dalam sebuah video pada 2020, Wan mengatakan asosiasi Hongmen mengikuti aturan yang berlaku.
Dalam postingan WeChat yang tersebut, perwakilan Hongmen mengatakan Wan sudah pensiun dari 'dunia gelap' dan fokus menggarap bisnis yang legal.
Keberadaan Wan juga berpindah-pindah. Investigator mengatakan Wan terdeteksi berada di Makau, Hong Kong, dan Kuala Lumpur.
(fab/fab)
Saksikan video di bawah ini:
Video: CEO Google Beri Peringatan Bahaya di 2025
Next Article Penipu Bobol Rekening Rp 3,7 triliun, Ternyata Remaja 19 Tahun