Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah pandemi COVID-19, fenomena pusat perbelanjaan atau mal sepi pengunjung menjadi pemandangan yang tidak asing di berbagai kota, termasuk Jakarta. Banyak mal yang kehilangan daya tarik hingga terkesan seperti "kuburan" yang sunyi.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja menjelaskan bahwa situasi ini tidak terlepas dari perubahan perilaku konsumen dan gaya hidup pasca pandemi. Dia menegaskan, fungsi utama mal saat ini bukan lagi sekadar tempat berbelanja, melainkan harus dapat menambahkan fungsi lain, yakni memfasilitasi pelanggan untuk melakukan interaksi sosial.
"Pusat Perbelanjaan yang terus menerus hanya mengedepankan fungsi belanja, maka akan langsung berhadapan dengan e-commerce," kata Alphonzus kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (26/12/2024).
Menurutnya, keperluan belanja masyarakat selama pandemi telah banyak tergantikan oleh platform belanja online. Setelah pembatasan sosial berakhir, masyarakat lebih mencari tempat untuk berinteraksi sosial secara langsung, kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh dunia maya selama masa pandemi.
"Jika mal tidak mampu menyediakan fasilitas untuk interaksi sosial, maka mereka akan ditinggalkan oleh pelanggan," tukasnya.
Foto: Suasana pusat perbelanjaan Pasaraya Blok M di Jakarta, Kamis (19/12/2024). Pasaraya Blok M yang meruapakan salah satu ikon mal di Jakarta Selatan kini kondisinya memprihatinkan dan sepi pengunjung. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Suasana pusat perbelanjaan Pasaraya Blok M di Jakarta, Kamis (19/12/2024). Pasaraya Blok M yang meruapakan salah satu ikon mal di Jakarta Selatan kini kondisinya memprihatinkan dan sepi pengunjung. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Alphonzus menyebutkan, mal perlu bertransformasi menjadi hub koneksi sosial (social connection hub). Dengan budaya masyarakat Indonesia yang gemar berkumpul bersama keluarga, teman, atau komunitas, mal harus menyediakan fasilitas yang mendukung kebutuhan tersebut, baik dari segi desain bangunan maupun ragam penyewa (tenancy mix).
"Pusat perbelanjaan harus memberikan 'journey' atau pengalaman yang lebih dari sekadar tempat belanja. Ini penting untuk menarik kembali pengunjung dan membuat mereka merasa nyaman," terang dia.
Katanya, sudah ada sejumlah mal di Jakarta dan kota besar lainnya yang berhasil menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Mereka tidak hanya mengandalkan konsep belanja, tetapi juga menghadirkan ruang interaksi sosial, hiburan, dan berbagai acara yang menarik minat masyarakat.
"Banyak mal yang kini tingkat kunjungannya mencapai 100% karena mereka telah berhasil memberikan fungsi lain dari sekedar fungsi belanja saja, sehingga diminati dan banyak dikunjungi oleh masyarakat," ujarnya.
Lebih lanjut, dia menegaskan, mal-mal yang kini sepi pengunjung perlu segera mengevaluasi diri dan beradaptasi. Jika tidak, mereka akan terus ditinggalkan di tengah persaingan yang semakin ketat dengan e-commerce dan mal lain yang lebih inovatif.
"Fungsi lain dari Pusat Perbelanjaan akan selalu berubah dari waktu ke waktu, karena Pusat Perbelanjaan sangat erat dengan gaya hidup (lifestyle) yang cepat sekali berubah setiap waktu," pungkasnya.
(wur/wur)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Jaya di Masa Lalu, Banyak Mal di Jakarta Sepi Bak "Kuburan"
Next Article Mal Terkenal di Senayan Sepi Parah, Pengunjung-Kios Kosong Melompong