REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia kesehatan global diguncang oleh pernyataan kontroversial Presiden AS Donald Trump. Dalam sebuah konferensi pers di Gedung Putih, Trump mengeklaim bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) segera mengeluarkan peringatan tentang risiko tinggi autisme pada anak yang dikaitkan dengan penggunaan obat pereda nyeri Tylenol, yang mengandung paracetamol atau asetaminofen pada ibu hamil.
"Mulai saat ini, FDA akan memberi tahu para dokter bahwa penggunaan acetaminophen selama kehamilan bisa dikaitkan dengan peningkatan risiko autisme yang sangat tinggi," kata Trump, seperti dilansir laman CBS News pada Rabu (24/9/2025).
Namun, pernyataan ini segera mendapat bantahan tegas dari sejumlah besar pakar dan lembaga kesehatan terkemuka di seluruh dunia. Badan Pengawas Obat dan Makanan Uni Eropa (EMA), misalnya, menyatakan tidak ada bukti ilmiah baru yang mendukung perubahan pedoman penggunaan paracetamol. Kepala Medis EMA, Steffen Thirstrup, menegaskan bahwa paracetamol tetap menjadi pilihan penting untuk mengobati nyeri dan demam pada ibu hamil.
"Saran kami berdasarkan penilaian ilmiah yang ketat terhadap data yang tersedia, dan kami tidak menemukan bukti bahwa paracetamol menyebabkan autisme," ujarnya.
Penolakan serupa datang dari berbagai negara. Badan Pengawas Obat dan Produk Kesehatan Inggris (MHRA) melalui Kepala Keamanan, dr Alison Cave, menyatakan, "Tidak ada bukti bahwa paracetamol menyebabkan autisme pada anak".
Sementara itu, para pejabat medis Australia bersama Badan Regulator Obat-obatan Australia (TGA) menegaskan bahwa mereka menolak klaim yang menghubungkan paracetamol dengan autisme atau ADHD. "Bukti ilmiah yang kuat tidak menunjukkan adanya hubungan kausal," bunyi pernyataan bersama mereka.
Menteri Kesehatan Spanyol, Monica Garcia, bahkan secara terbuka mengecam klaim Trump sebagai bentuk disinformasi yang berbahaya. "Trump kini menyerang paracetamol selama kehamilan, mengabaikan semua bukti ilmiah," katanya.
Garcia juga mengatakan penolakan terhadap sains ini hanya menimbulkan kepanikan dan kesalahpahaman. "Lebih baik mendengarkan otoritas kesehatan daripada seseorang yang dulu menyarankan menyuntikkan cairan pemutih untuk melawan Covid-19," kata dia.
Senada dengan itu, juru bicara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menegaskan bahwa bukti yang mengaitkan paracetamol dengan autisme masih tidak konsisten. Meskipun Trump menginstruksikan FDA untuk memberikan peringatan, lembaga tersebut mengonfirmasi bahwa mereka hanya akan mengirim surat kepada dokter yang menyatakan bahwa hubungan sebab-akibat belum terbukti secara ilmiah".
Para ahli juga menyoroti bahwa autisme memiliki banyak faktor penyebab yang kompleks. Banyak studi internasional kredibel yang justru menyangkal klaim tersebut. Sebuah studi besar di Swedia yang melibatkan hampir 2,5 juta anak selama 25 tahun menunjukkan bahwa penggunaan paracetamol oleh ibu hamil tidak meningkatkan risiko gangguan neurodevelopmental. Justru sebaliknya, demam yang tidak diobati selama kehamilan dapat menimbulkan risiko serius seperti keguguran, cacat lahir, dan tekanan darah tinggi pada ibu.
Organisasi profesi seperti American College of Obstetricians and Gynecologists dan Autism Science Foundation di AS juga menolak klaim tersebut, menyatakan bahwa bukti ilmiahnya terbatas, bertentangan, dan tidak konsisten. Oleh karena itu, paracetamol tetap menjadi satu-satunya obat bebas yang dianggap aman untuk mengatasi demam dan nyeri selama kehamilan, sementara obat lain seperti ibuprofen dan aspirin dosis penuh diketahui dapat meningkatkan risiko komplikasi serius.