REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyoroti tiga faktor utama yang saling berkaitan erat sebagai pemicu tingginya angka tersebut yakni tekanan ekonomi, pola asuh yang keliru, dan dampak negatif media sosial. Kombinasi ketiga elemen ini dinilai menciptakan lingkungan yang rentan bagi perempuan dan anak untuk menjadi korban.
"Kami melakukan analisa internal di Kementerian kami bahwa penyebab masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang pertama adalah faktor ekonomi," kata Menteri PPPA, Arifatul Choiri Fauzi usai kampanye “Kita Punya Andil, Kembalikan Ruang Aman" di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, Kamis (27/11/2025).
Menurutnya, kondisi ekonomi masyarakat berdampak terhadap angka kekerasan dalam rumah tangga. "Maka penguatan ekonomi ini menjadi fondasi penting untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ini," katanya.
Selanjutnya, kata dia, pola asuh yang salah terhadap anak juga menjadi pintu masuk terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. "Pola asuh dalam keluarga itu yang kedua. Mungkin ibu-ibu merasakan ya sekarang mengasuh anak itu luar biasa," kata Arifatul.
Masih berkaitan dengan pola asuh, Arifatul menyebut faktor ketiga adalah pengaruh media sosial. "Anak-anak kita kalau kita kasih tahu suka enggak manut, lebih manutnya kepada media sosial. Ini yang harus kita jaga bersama-sama, bagaimana ibu-ibu juga punya literasi tentang media," ujarnya.
Dalam hal ini, kata dia, pendampingan anak dalam bermedia sosial menjadi signifikan. "Bagaimana mengawasi, mendampingi anak-anak kita supaya bijak dalam menggunakan media sosial," ujarnya.
Dia mengatakan, dari kasus-kasus kekerasan yang ditangani oleh Kementerian PPPA, 90 persen kasus bersumber dari media sosial. Oleh karena itu, ia meminta masyarakat, baik orang tua maupun anak-anak untuk bijak menggunakan media sosial.
"Media sosial banyak sekali manfaatnya kalau kita bisa menggunakan secara bijak. Tetapi, manakala kita tidak menggunakan dengan bijak, maka hal-hal negatif lah yang akan berdampak kepada kita. Bukan kepada anak saja, tetapi juga kepada orang tua dan masyarakat secara keseluruhan," kata Arifatul.
Adapun angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2024, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat 330.097 kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah itu meningkat 14,17 persen dari tahun sebelumnya.
Sebelumnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menghadirkan 138 titik Ruang Bersama Indonesia (RBI) untuk menangani masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak. "Pilot project" (percobaan awal) ada di tujuh RBI di kabupaten-kabupaten yang mewakili zona di Indonesia.
"Tahun ini sudah menjadi 138," kata dia.
RBI merupakan ruang koordinasi dan sinergi lintas sektor dalam penanganan masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak. "Berbagai kementerian/lembaga dan yang paling penting adalah partisipasi masyarakat, bagaimana persoalan kekerasan ini kita selesaikan bersama-sama," kata dia.

1 hour ago
1













































