Rimba Berkabut di Lawu danamp; Pentingnya Persiapan Pendakian

3 hours ago 2

Rimba Berkabut di Lawu & Pentingnya Persiapan Pendakian Pendaki mengibarkan bendera merah putih di puncak Gunung Lawu, 28 Oktober 2025 - Istimewa/Eiger

Sebanyak 75 pendaki dari berbagai daerah berkumpul di Basecamp Tambak Gunung Lawu, Dusun Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Minggu (26/10).

Mereka selesai mengikuti pembekalan dalam program Mountain Jungle Course (MJC) 2025 yang diselenggarakan Eiger sebelum mendaki Gunung Lawu. Berikut laporan wartawan Harian Jogja Andreas Yuda Pramono.

Kabut turun perlahan di lereng Lawu. Suara langkah puluhan pendaki menembus sunyi hutan berlumut. Pagi itu, Lawu seolah menyambut mereka yang hendak belajar tentang alam—dan tentang diri sendiri.

Lawu yang menjulang 3.265 meter di atas permukaan laut (mdpl), membelah dua provinsi: Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pemerintah Kabupaten Karanganyar mencatat Gunung Lawu tergolong ke dalam gunung api tipe B. Gunung api tipe B merupakan gunung api yang sesudah tahun 1600 belum lagi mengalami erupsi magmatik, namun gunung api ini masih memperlihatkan gejala seperti adanya solfatara.

Solfatara ini berada di Kawah Condrodimuko yang mengeluarkan bau belerang yang tercium selama pendakian dari pos satu ke pos dua.

Gunung Lawu berpotensi mengalami erupsi kembali setelah beberapa ratus tahun mengalami dorman (istirahat), karena di dalam perut gunung masih terdapat aktivitas magma yang sewaktu-waktu dapat meletus.

Para pendaki bergegas meniti makadam. Target mereka satu, tiba di puncak pukul 08.00 WIB, Selasa (28/10). Jalur Cemoro Sewu memang terkenal lebih pendek, sekitar 5,5 kilometer (km). Hanya saja, jalur ini konstan menanjak dengan kemiringan rata-rata 30 – 45 derajat. Hampir tak ada titik landai sedari basecamp.

Tata, 25, dan teman-temanya ternyata berhenti di pos satu untuk beristirahat dan makan. Raut wajah mereka masih tampak semangat. Bersama mereka ada Kang Galih yang sedang duduk di pintu masuk shelter. Pria ini pendaki ulung dan salah satu mentor bagi para peserta MJC 2025.

Jalur Cemoro Sewu punya enam pos yang waktu tempuh antarpos beda-beda. Normalnya, pendaki pemula bisa mencapai puncak dengan waktu sekitar delapan jam.

“Jalur Cemoro Sewu itu kalau kata orang jaraknya paling pendek. Memang pendek, tapi penuh batuan sampai puncak. Apalagi sewaktu masuk di pos empat,” kata perempuan dengan nama lengkap Neng Shinta Furnama Daryat.

Tata tiba di pos empat sekitar pukul 15.20 WIB. Masih satu pos lagi sebelum camping ground. Tak ada pemandangan apa pun kecuali kabut.

Berbeda dengan pos empat yang hanya berupa susunan batuan besar, pos lima punya tanah lapang yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda. Butuh waktu 45 menit untuk menjejakkan kaki di pos lima. Sekitar pukul 16.00 WIB, hujan turun. Di ketinggian 3.177 mdpl, punggung dan lembah gunung mulai tampak. Ia tampak seperti punggung unta tanpa punuk yang ditumbuhi rumput hijau.

Tata bisa melihat jelas jalur setapak makadam yang menghubungkan pos lima dengan pos enam. Ia harus bergegas. Suhu yang semakin dingin ditambah hujan yang mulai turun membuat jemari kebas.

Di atas kepala, langit-langit terasa lebih dekat. Hujan turun deras. Petir menyambar cepat, seolah membelah kabut Lawu. Satu per satu pendaki tiba di Sendang Drajat ketika hujan turun cukup deras. Suhu udara semakin turun. Butiran es berjatuhan di atas seng menimbulkan suara seperti berondongan peluru. Sebelum malam menyergap, semua pendaki telah tiba. Summit akan dimulai pagi hari.

Kunci Pendakian

M. Salas Hakim, 25, telah bersiap menuju summit. Ia berada di satu rombongan dengan Tata. Sebelum berangkat, mereka melakukan peregangan tubuh. Perjalanan menuju puncak membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan elevasi 90 meter.

Sleeping system kami bagus jadi tidur juga nyenyak dan bisa mulai tracking ke puncak 06.30 WIB,” kata Salas.

Manajemen tidur dan pakaian memang jadi salah satu materi penting yang ia dapat selama mengikuti MJC 2025; dan kedua hal ini kerap dilupakan para pendaki.

Sembari meniti tanjakan, ia bercerita bagaimana pemilihan bahan pakaian dan sleeping bag sangat menentukan apakah seseorang akan terkena hipotermia atau tidak.

Seorang pendaki harus segera mencopot pakaian dan mengeringkan badannya di dalam tenda. Segera setelah kering, pakaian dengan bahan khusus, seperti fleeceharus langsung dikenakan.

Paling tidak, ada tiga layer kain penahan suhu dingin. Pertama adalah base layer yang menempel di kulit. Kedua adalah mid layer yang berbahan baku fleece/dakron/bulu angsa. Bahan-bahan ini efektif menahan panas tubuh. Ketiga adalah outer layer yang memiliki sifat tahan angin dan water proof.

“Tambahan celana tidur berbahan fleece juga, pakai kaus kaki, dan sarung tangan,” katanya sembari terengah di tengah perjalanan.

Kesiapan informasi dan data medan menjadi kunci keberhasilan sebuah ekspedisi, terlepas anomali cuaca saat ini. Pendaki perlu siap bukan hanya logistik dan sarana-prasarana, namun juga pengetahuan dan mental.

Pengetahuan sederhana yang perlu diketahui adalah bahwa setiap perubahan ketinggian, oksigen berkurang sekitar 10%. Ketidaksiapan akan membuat pendaki kesulitan bernafas.  Perubahan suhu juga jadi tantangan tersendiri.

Tegar Sukma Jaya, 25, sepakat bahwa pengetahuan menjadi salah satu kunci keberhasilan pendakian. Lelaki asal Lampung ini mengaku jalur pendakian Tambak memiliki banyak cabang dan kerapatan vegetasinya mirip dengan Singolangu.

Materi navigasi darat yang ia dapat sangat berguna untuk jalur ini. Apalagi jalur ini tertutup rerumputan setinggi pinggang, belum lagi ditambah kabut.

“Semua gunung susah untuk didaki. Alam tidak bisa ditebak. Apalagi untuk Lawu, gunung ini bukan untuk pemula,” kata anggota Pecinta Alam Lampung ini.

Galih Donikara, Advisor Eiger Adventure Service Team (EAST) sekaligus Kepala Sekolah Eiger MJC 2025, berdiri di tengah para pendaki di depan monumen batu. Ia membagi 75 peserta menjadi dua kelompok di mana masing-masing membawa kain panjang berwarna merah dan putih. Mereka akan mengelilingi monumen batu dengan kain di atas kepala mereka.

Lagu ciptaan Husein Mutahar berjudul Syukur mengubah suasana menjadi lebih emosional.

Para peserta kini telah mengelilingi monumen batu. Secara bersama-sama mereka mengucapkan Sumpah Pemuda. Ikrar Sumpah Pemuda lahir dengan latar perbedaan suku, agama, dan daerah. Perbedaan ini berhilir pada satu identitas bangsa: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa—Indonesia.

Di puncak Lawu, di antara kabut dan Merah Putih yang berkibar, mereka tak sekadar menaklukkan gunung. Mereka menaklukkan batas-batas diri, mengingat kembali makna Sumpah Pemuda: bahwa persatuan lahir bukan dari kesamaan, melainkan dari perjalanan bersama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|