Royalti Nikel Cs Naik, Kontraproduktif Bagi Industri Tambang

2 weeks ago 5

8000hoki.com Data Demo web Slots Gacor China Terkini Sering Menang Full Terus

hoki kilat online Platform server Slot Maxwin China Terbaik Mudah Lancar Jackpot Full Online

1000hoki Demo website Slots Gacor Cambodia Terkini Gampang Lancar Scatter Full Non Stop

5000 hoki Data Agen web Slot Gacor Japan Terbaru Gampang Lancar Jackpot Online

7000 Hoki Online Data Situs server Slot Gacor China Terkini Gampang Win Full Online

9000hoki Data Demo web Slot Gacor Vietnam Terbaik Sering Win Full Setiap Hari

List Agen situs Slots Maxwin server Philippines Terbaik Pasti Jackpot Full Setiap Hari

Idagent138 Daftar Akun Slot Terbaik

Luckygaming138 login Slot Game Terpercaya

Adugaming Daftar Slot Game Terbaik

kiss69 login Akun Slot Gacor Terbaik

Agent188 Daftar Akun Slot Terpercaya

Moto128 Daftar Id Slot Gacor Terpercaya

Betplay138 login Slot Maxwin Terpercaya

Letsbet77 login Id Slot Anti Rungkat Terbaik

Portbet88 Id Slot Maxwin Terpercaya

Jfgaming168 login Slot Maxwin Terpercaya

Mg138 Id Slot Maxwin Terpercaya

Adagaming168 login Id Slot Maxwin Terpercaya

Kingbet189 Id Slot Maxwin Terpercaya

Summer138 Daftar Slot Game Online

Evorabid77 Id Slot Anti Rungkat Terpercaya

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah merevisi Peraturan Pemerintah yang mengatur kenaikan tarif royalti di sektor mineral dan batu bara. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kontribusi penerimaan negara dari sumber daya alam.

Meski begitu, Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menilai bahwa kebijakan ini bisa menjadi kontraproduktif bagi pelaku usaha pertambangan. Sekalipun dampaknya tidak akan dirasakan secara merata oleh seluruh komoditas pertambangan.

"Saya melihat rencana revisi PP26/2022, yang akan diberlakukan oleh pemerintah bisa jadi menjadi kontraproduktif bagi pelaku usaha pertambangan, namun bukan seluruh jenis komoditas pertambangan," kata dia kepada CNBC Indonesia, Senin (24/3/2025).

Menurut dia, sektor nikel akan menjadi salah satu industri yang teriak atau keberatan atas usulan revisi ini. Namun, hal ini bisa jadi tidak berlaku bagi industri timah maupun batu bara, khususnya bagi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

"Namun bisa tidak terjadi di timah maupun batu bara, khususnya IUPK perpanjangan dari PKP2B yang justru bagus dengan usulan revisi ini. Jauh lebih rasional bagi IUPK perpanjangan PKP2B," kata dia.

Singgih menilai bahwa pemerintah dalam usulan revisi ini lebih berfokus pada harga komoditas. Pemerintah hanya melihat tingginya harga komoditas tambang sebagai momentum yang wajar untuk menaikkan royalti.

Apalagi, pendapatan dari industri pertambangan masih dianggap mampu membantu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang saat ini mengalami defisit, sementara penerimaan pajak masih di bawah target.

Singgih lantas menilai bahwa revisi ini kurang tepat karena tidak semua harga komoditas tambang saat ini berada pada level tinggi. Bahkan, harga batu bara internasional diproyeksikan tidak akan mengalami kenaikan tajam.

"Bahkan melemah bersamaan dengan berbagai negara importir tetap konsisten mengimplementasi kebijakan transisi energi," kata dia.

Singgih menyebut hingga saat ini, belum ada alasan fundamental yang dapat mendorong kenaikan harga batu bara di pasar global dalam waktu dekat. Sehingga sangat jelas, revisi yang diberlakukan oleh pemerintah hanya berlandaskan pada harga saja, padahal tidak semua komoditas berada di level tinggi.

"Tidak memahami kondisi industri tambang secara detail atas kondisi biaya penambangan, pasar jangka panjang, adalah hal yang mestinya dikoreksi," katanya.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa revisi tarif royalti ini dilakukan di tengah tantangan lain yang dihadapi industri tambang, seperti implementasi kebijakan biodiesel B40 dan Dana Hasil Ekspor (DHE), yang dinilai sudah cukup memberatkan industri.

"Jadi kembali lagi jika pemerintah akan melakukan revisi, maka harus ada penilaian dan pembahasan dengan pelaku industri pertambangan terkait kondisi lapangan tambang dari sisi produksi, biaya produksi, pasar yang terbangun dan ekplorasi," kata dia.

Selain itu, besarnya royalti harus memasukkan risk-sharing antara investor tambang dan negara. Sehingga nilai royalti diiriskan dengan membangun sustainable economy, yang semestinya harus diletakkan bagaimana investasi tambang diperlukan modal yang cukup besar (padat modal), high risk dan bukan quick yield.

"Dengan alasan ini Pemerintah harus lebih memetakan detail dampak royalti dengan menggunakan sisi ukuran di investor pertambangan sendiri (Internal Rate of Return (IRR), Net Present Value (NPV), Effective TAx Rate (ETR) dan cumulative royalty," tambahnya.

Sebagaimana diketahui, pemerintah tengah merevisi aturan terkait royalti dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor mineral dan batu bara (minerba). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kontribusi sektor pertambangan untuk penerimaan negara.

Dua aturan yang tengah direvisi antara lain Peraturan Pemerintah No.26 tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PP No.15 tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batu Bara.

Di komoditas mineral, beberapa komoditas yang akan mengalami kenaikan royalti antara lain nikel, baik bijih dan produk pengolahan, emas, timah, perak, tembaga, hingga platina.


(wia)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Kenaikan Royalti Minerba Bikin Was-Was, Apa Dampaknya?

Next Article Pemerintah Ubah 2 Aturan Soal Tarif Royalti & PNBP Minerba

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|