Jakarta, CNBC Indonesia - PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menargetkan produksi batu bara hingga 79-81 juta ton pada 2025. Dari jumlah tersebut, Kaltim Prima Coal (KPC) akan berkontribusi terhadap produksi batu bara sebanyak 55-56 juta ton sedangkan Arutmin diperkirakan akan memproduksi batu bara sebesar 25-26 juta ton.
"Kita menargetkan 79-81 juta ton, 55-56 juta di KPC, dan di Arutmin, 25-26 juta ton. Pada harga, US$ 64-69 juta, KPC US$ 70-75 dolar, dan di Arutmin, US$ 50-55 dolar," ungkap Director/Chief Financial Officer BUMI, Andrew Beckham dalam webinar, Selasa (22/4/2025).
Di samping itu, dia mengungkapkan, harga batu bara cukup stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Apabila melihat pada tahun 2024, dan 2025 harga batu bara sedikit lebih rendah namun tergolong cukup stabil.
"Seperti yang bisa kita lihat selama bertahun-tahun, harga-harga cukup fluktuatif tetapi jika Anda lihat pada tahun 2024 dan 2025 untuk saat ini sedikit turun tetapi cukup stabil," tutur dia.
Menurutnya, tren harga batu bara tersebut merupakan akibat dari ketidakpastian yang terjadi di pasar global pada tahun 2024. Pada periode tersebut banyak hal yang terjadi seperti pemilihan umum (pemilu) dan konflik geopolitik. Berlanjut pada 2025, terdapat perang dagang yang nyata alias perang tarif yang sedang berlangsung saat ini.
Walau demikian, BUMI berpotensi mendapatkan angin segar dari perubahan tarif royalti dan efek kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang membela energi fosil.
Dalam berita sebelumnya disebutkan, meskipun harga acuan turun, prospek batu bara tetap menjanjikan lantaran mendapatkan sentimen positif dari pemerintah Trump yang mengecualikan banyak pembangkit listrik tenaga batu bara dari batasan merkuri dan racun udara.
Seperti yang diketahui, pemerintahan Trump telah memberikan pengecualian kepada 47 perusahaan dari peraturan yang bertujuan mengurangi merkuri dan polutan udara beracun untuk pembangkit listrik tenaga batu bara mereka selama dua tahun, menurut daftar fasilitas yang diterbitkan oleh Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) pada hari Selasa.
Daftar pengecualian ini merupakan langkah terbaru dari pemerintahan Trump yang menggunakan perintah eksekutif atau darurat untuk segera melindungi fasilitas pencemar dari kewajiban mematuhi standar udara dan air yang sebelumnya diperketat oleh pemerintahan Biden. Di sisi lain, EPA sedang menjalani proses yang lebih panjang untuk mencabut aturan tersebut.
Standar Merkuri dan Polutan Udara Beracun (MATS) era Biden masih berlaku setelah Mahkamah Agung pada bulan Oktober menolak untuk menangguhkan aturan tersebut, meskipun sekelompok negara bagian yang mayoritas dikuasai Partai Republik dan kelompok industri mengajukan gugatan hukum untuk menangguhkannya.
(dpu/dpu)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Nasib Batu Bara Saat Harga Anjlok - Rencana Kenaikan Royalti
Next Article Hingga Kuartal III-2024, BUMI Cetak Laba Bersih US$ 122,86 Juta