Jakarta, CNBC Indonesia - Kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS) menyimpan sejumlah kekhawatiran baru untuk negara-negara di Asia dan Eropa. Hal ini terkait dengan tarif yang mungkin akan dijatuhkan oleh Trump, berkaca dari kepemimpinannya pada era 2017-2021 itu.
Menjelang kemenangannya, Trump telah mengancam akan menghidupkan kembali perang dagang yang dimulai selama masa jabatan pertamanya. Ia menyatakan dalam bahwa ia akan menaikkan tarif atas barang-barang China sebesar 60-100%, dan akan mengenakan tarif menyeluruh sebesar 10% hingga 20% atas semua impor AS.
Kepala Ekonom Asia-Pasifik untuk Goldman Sachs, Andrew Tilton, menyebutkan bahwa selain China akan ada negara-negara yang juga berpotensi untuk mendapatkan tarif AS dari Trump di wilayah itu karena surplus perdagangannya dengan Negeri Paman Sam. Negara tersebut seperti Korea Selatan (Korsel), Taiwan, dan Vietnam.
Untuk diketahui, tarif adalah pajak atas barang impor, tetapi tidak dibayarkan oleh negara pengekspor. Jadi tarif AS akan dibayarkan oleh perusahaan yang ingin mengimpor produk ke negara tersebut, sehingga meningkatkan biaya mereka.
"Dengan Trump dan beberapa calon yang mungkin ditunjuk berfokus pada pengurangan defisit bilateral, ada risiko bahwa dalam semacam cara 'menghancurkan', defisit bilateral yang meningkat pada akhirnya dapat mendorong tarif AS pada ekonomi Asia lainnya," katanya dikutip CNBC International, Rabu (13/11/2024).
"Korea, Taiwan, dan khususnya Vietnam telah mengalami keuntungan perdagangan yang besar dibandingkan AS. Posisi Korea dan Taiwan mencerminkan 'posisi istimewa' mereka dalam rantai pasokan semikonduktor, sementara Vietnam telah diuntungkan dari pengalihan perdagangan dari China," tambanya.
Pada tahun 2023, surplus perdagangan Korsel dengan AS dilaporkan mencapai rekor US$ 44,4 miliar (Rp 700 triliun). Ini merupakan surplus terbesar dengan negara mana pun, di mana ekspor mobil mencapai hampir 30% dari semua pengiriman ke AS.
Ekspor Taiwan ke AS pada kuartal pertama tahun 2024 mencapai rekor tertinggi sebesar US$ 24,6 miliar (Rp 387 triliun), meningkat 57,9% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan ekspor terbesar berasal dari teknologi informasi dan produk audiovisual.
Sementara itu, surplus perdagangan Vietnam dengan AS antara Januari dan September mencapai US$ 90 miliar (Rp 1.400 triliun).
"India dan Jepang juga mengalami surplus perdagangan dengan AS, dengan surplus Jepang tetap relatif stabil dan surplus India meningkat secara moderat dalam beberapa tahun terakhir," tambah Goldman Sachs.
Hal sama juga dikatakan analis Barclays Bank. Menurutnya kebijakan perdagangan memang penting bagi Trump di jabatan keduanya nanti.
"Tarif yang diusulkan Trump kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian yang lebih besar pada ekonomi yang lebih terbuka di kawasan tersebut, dengan Taiwan lebih rentan terhadap ancaman tersebut daripada Korea atau Singapura," tulis ekonom bank yang dipimpin oleh Brian Tan.
"Kami melihat Thailand dan Malaysia di tengah, dengan Thailand diperkirakan akan mengalami pukulan yang sedikit lebih besar," tambah catatan tersebut.
Secara rinci, data AS menunjukkan bahwa defisit perdagangan AS dengan China menyempit menjadi US$279,11 miliar pada tahun 2023, dari $346,83 miliar pada tahun 2016. Meskipun perdagangan AS dengan China menyusut setelah penerapan tarif pada pemerintahan Trump yang pertama, volume perdagangan disalurkan ke negara-negara ketiga seperti Vietnam, Meksiko, Taiwan, termasuk Indonesia.
Sebelumnya, analis di London School of Economics and Political Science telah memperkirakan bahwa tarif Trump akan menyebabkan penurunan PDB China sebesar 0,68%. Di mana, sebagaimana dimuat Al-Jazeera, ini juga akan berimbas ke kerugian PDB masing-masing sebesar 0,03% dan 0,06% untuk India dan Indonesia.
Eropa juga Terancam
Sejumlah negara Eropa juga tidak luput dari ancaman tarif ini. Salah satunya adalah Jerman, yang sangat bergantung pada perdagangan dengan AS, khususnya dalam hal ekspor kendaraan.
Meski belum jelas sedalam apa kebijakan tarif Trump akan melukai Benua Biru, namun Eropa diperkirakan telah menyiapkan sejumlah skenario untuk melakukan pembalasan yang seimbang.
"Tidak pasti apakah tarif Trump terhadap Eropa akan seburuk yang ditakutkan atau apakah tarif tersebut hanya akan menjadi alat tawar-menawar yang dirancang untuk membuka kesepakatan kebijakan luar negeri yang lebih luas," kata analis ING dalam sebuah catatan, dimuat CNBC International.
Direktur Pusat Ekonomi Internasional Ifo menyerukan kepada Jerman, yang merupakan ekonomi terbesar Eropa, untuk memperkuat posisi mereka melalui tindakan mereka sendiri. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah integrasi pasar lebih kuat di dalam wilayah tersebut.
"Ini termasuk integrasi pasar layanan UE yang lebih dalam dan tindakan pembalasan yang kredibel terhadap AS," kata Lisandra Flach dari Ifo minggu lalu.
"Tindakan balasan tersebut mencakup pengenaan tarif, pembatasan perdagangan jasa dan aspek hak kekayaan intelektual yang terkait dengan perdagangan, dan pembatasan akses ke investasi langsung asing dan pengadaan publik. Jerman dan Uni Eropa juga dapat memperkuat kerja sama dengan masing-masing negara bagian AS," tambahnya.
Selain itu, langkah yang dapat diambil oleh Eropa adalah menghambat perdagangannya dengan China sehingga menjadi lebih seiringan dengan AS. Meski Eropa dan China memiliki volume perdagangan yang besar, kepala ekonom Eropa di Capital Economics, Andrew Kenningham, menyebutkan kemungkinan untuk menghambat akan tetap ada bila Washington menekan Benua Biru dengan keras
"Kemungkinan lain adalah bahwa Eropa dapat sepakat untuk menyelaraskan kebijakannya terhadap China lebih erat dengan kebijakan AS. Itu dapat berarti hambatan lebih lanjut terhadap impor kendaraan listrik China dan teknologi lainnya, pembatasan terhadap investasi asing langsung dari China, dan peningkatan pembatasan terhadap ekspor barang-barang berteknologi tinggi seperti mesin litografi," tuturnya.
(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Jika Trump Perketat Proteksionisme, Efek Buruk Ini Hantui RI
Next Article Mobil Listrik China 'Digebuk' Sana-sini: AS-Eropa, Kini Kanada