Jakarta, CNBC Indonesia - Peperangan yang terjadi di Sudan masih terus membara. Terbaru, sebuah laporan menyebutkan bahwa korban jiwa akibat perang tersebut telah mencapai 61 ribu orang sejak pertama kali pecah pada 14 bulan lalu.
Mengutip Reuters, London School of Hygiene and Tropical Medicine's Sudan Research Group, yang merilis angka ini pada Rabu (13/11/2024), menyebutkan bahwa angka ini tak hanya berisi korban tewas yang langsung dalam perang namun memasukan juga korban yang tewas lantaran kelaparan dan penyakit yang ditimbulkan dari pertempuran.
"Penelitian ini berusaha menangkap ketidaktampakan itu menggunakan teknik pengambilan sampel yang dikenal sebagai metode 'capture-recapture'," kata penulis utama penelitian tersebut yang juga ahli epidemiologi penyakit menular, Maysoon Dahab.
Dengan menggunakan data dari setidaknya dua sumber independen, para peneliti mencari individu yang muncul di beberapa daftar. Semakin sedikit tumpang tindih antara daftar, semakin tinggi kemungkinan kematian tidak tercatat.
Dalam kasus ini, para peneliti menyusun tiga daftar korban tewas. Satu daftar didasarkan pada survei publik yang disebarkan melalui platform media sosial antara November 2023 dan Juni 2024. Yang kedua menggunakan aktivis komunitas dan "duta studi" lainnya untuk mendistribusikan survei secara pribadi dalam jaringan mereka.
Dan yang ketiga dihimpun dari berita kematian yang diunggah di media sosial, praktik umum di tiga kota yakni Ibu Kota Khartoum, Kota Omdurman, dan Kota Bahri. Ketiganya diketahui bersama-sama membentuk ibu kota yang lebih besar.
"Temuan kami menunjukkan bahwa kematian sebagian besar tidak terdeteksi," tulis para peneliti.
"Kematian yang tercatat dalam tiga daftar tersebut hanya mencakup 5% dari total perkiraan untuk negara bagian Khartoum dan 7% dari yang disebabkan oleh cedera yang disengaja. Temuan tersebut menunjukkan bahwa wilayah lain yang terkena dampak perang di negara tersebut dapat mengalami jumlah korban yang sama atau lebih buruk," jelasnya.
Angka ini sendiri jauh berada di atas perkiraan PBB. Namun, pejabat di Sudanese American Physicians Association, mengatakan bahwa temuan tersebut tampak kredibel.
"Jumlahnya bahkan mungkin lebih banyak. Kekebalan tubuh yang melemah akibat kekurangan gizi membuat orang lebih rentan terhadap infeksi," kata manajer programnya, Abdulazim Awadalla.
Perang meletus akibat perebutan kekuasaan antara Angkatan Bersenjata Sudan dan Rapid Support Forces (RSF) pimpinan Jenderal Hamdan Dagalo menjelang transisi yang direncanakan ke pemerintahan sipil.
RSF dengan cepat mengambil alih sebagian besar ibu kota dan kini telah menyebar ke setidaknya setengah negara. Namun sejumlah wilayah kekuasaannya telah direbut kembali oleh militer Khartoum.
Kuburan di Mana-Mana
Banyaknya korban perang juga nampak pada makam yang dibuat secara seadanya. Keadaan ini sempat terjadi kepada musisi Khalid Sanhouri, yang tidak dikuburkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Omdurman karena lokasi tersebut tak bisa dicapai karena perang.
"Jadi, kami menguburkannya di sini," kata tetangga Sanhour, Omar, sambil menunjuk ke sebuah kuburan tepat di balik tembok berlubang peluru yang mengelilingi rumah musisi tersebut.
Ratusan kuburan telah bermunculan di samping rumah-rumah di seluruh wilayah Khartoum sejak tahun lalu. Dengan kembalinya tentara ke beberapa lingkungan, mereka mulai memindahkan jenazah ke TPU Omdurman.
"Ada sebanyak 50 pemakaman setiap hari di sana," kata pengurus jenazah Abdin Khidir, yang menambahkan bahwa TPU telah diperluas hingga ke lapangan bola sebelah makam.
Pihak yang bertikai saling menyalahkan atas meningkatnya jumlah korban. Juru bicara Angkatan Darat Brigadir Jenderal Nabil Abdallah menyebutkan RSF harus bertanggung jawab dengan kondisi ini.
"Penyebab utama dari semua penderitaan ini adalah milisi RSF, yang tidak ragu-ragu sejak awal untuk menargetkan warga sipil," tambahnya,
Kementerian Kesehatan Sudan sendiri mengatakan dalam sebuah pernyataan kepada Reuters bahwa mereka telah mengamati kematian yang jauh lebih sedikit daripada perkiraan dalam penelitian itu, di mana ada 5.565 korban tewas.
RSF, di sisi lain, tidak membantah perkiraan penelitian itu, menyalahkan kematian di ibu kota pada 'serangan udara yang disengaja di daerah berpenduduk, selain penembakan artileri dan serangan pesawat tak berawak'.
"Sudah diketahui bahwa tentara adalah satu-satunya yang memiliki (senjata semacam itu)," katanya dalam sebuah pernyataan kepada Reuters.
(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini: