Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah ekonom memberikan kritikan keras terhadap pernyataan pemerintah yang menyatakan tekanan inflasi dari kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% hanya sebesar 0,2%.
Ekonom senior yang juga merupakan Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi Bambang Brodjonegoro mengatakan, dampak inflasi kecil dari kenaikan tarif PPN itu tidak hanya bisa dilihat secara general, karena potensi kenaikan inflasi tidak bisa disamaratakan dampaknya antar kelompok ekonomi masyarakat.
"Desil 5 ke 8 yang itu tadinya aspiring dan near poor ini tentu memberatkan. Jadi kadang-kadang kalau kita melihat inflasi itu harus hati-hati. Inflasinya mungkin kelihatan kecil tapi dampak inflasi kecil itu bisa beda antara yang incomenya besar dengan income yang terbatas," kata Bambang dalam program Cuap-Cuap Cuan CNBC Indonesia, dikutip Senin (23/12/2024)
Oleh sebab itu, mantan menteri keuangan periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo itu mengaku sudah memperingatkan jajarannya sedari dulu supaya tidak mengejar pendapatan negara dengan menaikkan tarif pajak. Sebab, risikonya besar bagi masyarakat banyak, khususnya daya beli kelas menengah ke bawah.
"Jadi dari dulu sejak saya di kementerian keuangan dan menkeu pendekatan saya adalah jangan kita terlalu cepat ingin mencari tambahan penerimaan pajak dengan menaikkan tarif pajak yang sifatnya menyeluruh tadi," tegasnya.
Ekonom yang juga merupakan Director of Public Policy Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar turut menegaskan, pernyataan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mengatakan dampak kenaikan inflasi akibat naiknya tarif PPN hanya 0,2% sangat tidak tepat dan cenderung menyesatkan.
"Pernyataan DJP bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% tidak memberi dampak signifikan pada inflasi sangat tidak tepat dan menyesatkan," tutur Media melalui keterangan tertulis.
Ia berargumen, tiga tahun lalu atau April 2022, Pemerintah Indonesia telah menaikkan PPN dari 10% ke 11%, namun inflasi tahunan melonjak dari 3,47% menjadi 4,94% hanya dalam waktu tiga bulan atau tepatnya pada Juli 2022.
DJP atau Ditjen Pajak menganggap, tingkat inflasi yang tinggi ke level 5,51% pada 2022 itu terjadi karena tekanan harga global, gangguan pasokan pangan, hingga kenaikan BBM. Menurut Wahyudi, argumen itu sangatlah tidak tepat.
Menurutnya, bila berkaca pada periode 2022, inflasi melonjak dari 3,47% menjadi 4,94% hanya dalam kurun waktu tiga bulan pasca kenaikan PPN pada April 2022. Sementara itu, kebijakan kenaikan BBM baru dilakukan pada Desember 2022.
"Artinya, anomali inflasi terjadi persis setelah PPN dinaikkan, dan sudah pasti disebabkan oleh kenaikan PPN, dibandingkan dengan masalah tekanan harga global dan supply pangan yang terjadi sepanjang tahun pada 2022," ungkapnya.
(arj/mij)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Sri Mulyani: Negara Bebaskan PPN Beras-Listrik Rp265,6 Triliun
Next Article Tak Ada Pembatalan, PPN Naik Jadi 12% di 2025 Sesuai UU!