Ini Kisah di Balik Kasus Megakorupsi IUP Nikel yang Disetop KPK

2 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan penyidikan kasus megakorupsi ijin usaha pertambangan (IUP) nikel di Konawe Utara pada 2024 jadi sorotan belakangan. Bagaimana dulu jalannya proses penetapan kasus yang merugikan keuangan negara sekitar RP 2,7 triliun tersebut?

Saut Situmorang, wakil ketua KPK periode 2015-2019 menceritakan pada Republika bahwa penetapan tersangka kasus itu tanpa polemik di jajaran pimpinan. Saut adalah pemimpin di KPK yang mengumumkan peningkatan hukum kasus korupsi pemberian IUP nikel di Konawe Utara itu pada 2017. 

Ia pada 3 Oktober 2017 mengumumkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka atas perannya sebagai pj bupati Konawe Utara 2007-2009 dan bupati Konawe Utara periode 2011-2016. Saut menceritakan pada saat pengusutan kasus itu nyaris tak ada perdebatan berarti di level penyidik maupun di tingkat komisioner.

“Saya lupa waktu itu berapa skornya di level pimpinan waktu itu (saat penetapan tersangka). Tetapi dalam kasus ini, pimpinan itu sangat solid,” kata Saut. Saat itu, ketua KPK dijabat Agus Rahardjo yang berlatar belakang akademisi.

Dan ketika itu, kata Saut mengungkapkan pengusutan korupsi di sektor pertambangan nikel, bagian dari program KPK dalam membantu pemerintah untuk penyelamatan kerugian negara di lingkup sumber daya alam dan mineral. “Dan kalau dari sisi formil maupun materiilnya, tidak ada keragu-raguan di situ,” kata Saut. 

Dalam kasus tersebut, pengusutannya sudah sampai level ke pihak-pihak lain. Kata Saut, kasus korupsi pemberian IUP nikel di Konawe Utara itu ada dugaan keterlibatan dan keterkaitannya dengan lembaga-lembaga maupun unit-unit bisnis milik negara lainnya. “Di situ, ada melibatkan pihak lain, di antaranya karena itu juga menyangkut ekspor (nikel), yang itu ada (dugaan) keterlibatan bea cukai, dan juga ada keterkaitannya dengan Antam,” ujar Saut. 

Dia menerangkan, banyak lahan-lahan pertambangan yang selama ini dimiliki maupun dalam penguasaan sah perusahaan negara. Namun sengaja dialihkan dengan cara melanggar hukum ke perusahaan-perusahaan pertambangan lain. Kata Saut, pengusutan kasus itu sampai pada penetapan Aswad Sulaiman sebagai tersangka bukan proses yang mudah. 

“Kami membacakan itu (penetapan tersangka) melalui kegiatan yang diawali adanya pengaduan masyarakat, pendalaman, cross check, double check, sampai masuk ke level penyelidikan. Pemaparan di tingkat direktur, di tingkat deputi, sampai ke tingkat pimpinan. Kemudian naik lagi ke tingkat penyidikan, pemaparan lagi di tingkat direktur, di tingkat Satgas, tingkat deputi, dan sampai ke tingkat pimpinan. Dan itu semua ada proses bukti-bukti yang disampaikan dalam pemaparan,” ujar Saut. 

Karena itu, menurut Saut, saat ini menjadi tak masuk akal penjelasan dari KPK tentang alasan-alasan penghentian kasus tersebut yang dilakukan pada Desember 2024 pada masa transisi KPK dari ketua Firli Bahuri ke Setyo Budiyanto. 

Kedua pimpinan tersebut berasal dari kepolisian. Demikian juga direktur penyidikan KPK pada kedua periode yakni Karyoto pada masa Firli dan Asep Guntur Rahayu.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|