Ketumpulan Rasa di Tengah Gempuran Layar dan Algoritma

2 hours ago 9

Image Shilva Lioni

Gaya Hidup | 2025-09-24 12:22:18

https://www.shutterstock.com

“Kita menyentuh terlalu banyak, tapi tak menyentuh apa-apa. Kita merasa terlalu sering, tapi tak benar-benar merasakan.”

Di era digital saat ini, kita hidup dalam pusaran emosi yang tak pernah berhenti. Setiap detik, layar kita dipenuhi berita duka, kabar bahagia, tangisan, tawa, kemarahan, dan ketakutan. Semuanya bercampur dalam satu aliran tak berujung yang kita sebut sebagai feed. Dunia digital seakan menjadi sebuah taman bermain “emosi” dimana dalam satu jam, kita bisa mengalami beragam perasaan seperti tertawa karena video lucu, tersentuh oleh kisah inspiratif, terkejut oleh berita duka, lalu teralihkan oleh iklan yang bersinar di sela-sela. Namun, alih-alih membuat kita lebih peka, lebih empatik, atau lebih manusiawi, banjir emosi ini justru mulai dan dapat menumpulkan rasa.

Kita menjadi kehilangan sensitivitas. Dalam sehari, kita bisa melihat peristiwa anak yang tertimbun reruntuhan, video pernikahan viral, hingga protes besar-besaran di belahan dunia lain yakni hanya dalam jarak tiga scroll dari satu sama lain. Informasi seakan datang begitu cepat dan bercampur begitu bebas, hingga tak lagi memberi ruang bagi jiwa untuk memprosesnya. Padahal dahulu, sebuah peristiwa dapat tinggal dan menyentuh di hati kita selama berhari-hari. Kita bahkan bisa larut dalam kenangan, terdiam dalam duka, atau tertawa lepas ketika mengingat sesuatu. Namun ironinya hari ini, bahkan sebelum rasa itu sempat meresap, seringkali sudah ada rasa baru yang meminta dan menyita perhatian kita melalui berbagai media yang hadir.

Kita hidup dalam zaman di mana segala hal bisa diulang. Kita bisa menonton ulang video perpisahan berkali-kali. Kita bisa membaca kembali pesan terakhir dari seseorang, atau melihat momen haru dalam bentuk reels, story, atau throwback berkali-kali. Di dunia yang terus-menerus menyajikan momen-momen menyentuh, lucu, atau menyedihkan, kita dipaksa jadi “terbiasa” dan "merasa cepat” dimana setiap emosi saat ini hanya dibatasi oleh durasi konten. Belum selesai dan diberi waktu yang cukup bagi kita untuk menyesap haru, sudah datang kembali konten lucu dengan emosi bertolak belakang.

Belum selesai kita tertawa, sudah ada berita duka. Semua ini membuat kita terlatih untuk merasakan cepat, lalu melupakan lebih cepat lagi. Kita seperti pengunjung taman hiburan emosi yang mana berpindah dari satu wahana rasa ke wahana lain, tanpa benar-benar tinggal di mana pun. Bisa jadi hal yang membuat kita tersentuh kemarin, jadi terasa biasa hari ini. Video haru yang dulu berhasil membuat kita menangis, sekarang bisa jadi hanya menjadi “konten serupa” di antara puluhan lainnya.

Rasa menjadi kehilangan makna karena terlalu sering diminta hadir. Seperti analogi saat kita mendengarkan bunyi alarm sepanjang hari. Dari yang awalnya panik, lalu cemas, hingga lama-lama terbiasa, lalu bahkan menjadi tidak peduli. Begitulah kita sekarang. Emosi dan rasa dapat datang begitu instan dan berulang, lalu lenyap juga secara instan.

Media sosial telah menciptakan bentuk baru dari empati instan. Kita sering dapat merasa tergerak dalam beberapa detik, menekan tombol like, kadang membagikan, lalu kembali scroll tanpa sisa. Emosi dewasa ini dikemas hanya dalam durasi 15 detik. Kita seringkali dibombardir oleh berbagai emosi seperti marah, takut, terharu, dan panik. Semuanya bersuara nyaring. Semuanya berebut tempat di tengah-tengah gempuran algoritma yang mana membuat kita terlahir menjadi generasi yang tahu segalanya, tapi merasakan sangat sedikit. Padahal sejatinya, ketajaman rasa tidak datang dari paparan konstan, tetapi dari perhatian penuh yakni dari jeda. Rasa butuh keheningan agar bisa benar-benar terdengar bukan dalam arti teknis yakni bukan sekadar respon. Kita perlu merasakan secara utuh dimana rasa bisa tinggal lebih lama bahkan setelah layar dimatikan.

Rasa, seperti halnya manusia, ia butuh ruang untuk bernapas. Ia tidak bisa dipaksa hadir lewat efek suara dan transisi visual. Ia perlu keheningan, perlu jarak, dan jeda. Emosi adalah pengalaman yang dibangun oleh waktu, konteks, dan kedekatan. Seperti kesedihan yang hanya dapat datang karena kehilangan, haru yang muncul karena keterhubungan, dan tawa yang lahir dari kebersamaan. Rasa yang sejati butuh waktu untuk tumbuh. Ia perlu disambut dengan perhatian, bukan dituntut dengan kecepatan. Ia hadir bukan karena dipicu oleh algoritma, tapi karena kita memilih untuk hadir secara penuh.

Dalam dunia yang memproduksi emosi secara massal seperti saat sekarang ini, sudah selayaknya kita harus melindungi rasa sebagai sesuatu yang sakral karena rasa bukanlah sesuatu yang bisa kita ulang semaunya, percepat, atau padatkan. Rasa adalah kehadiran dan kehadiran akan selalu membutuhkan ruang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|