Muhammad Thaufan Arifuddin
Kolom | 2025-09-24 14:27:28
Kita hidup di tengah era yang semakin rapuh dan sarat polarisasi politik global. Dinamika pergeseran kekuatan ekonomi antara Amerika Serikat dan Tiongkok menajamkan ketegangan antara Barat dan Timur (Akaev & Pantin, 2017; Lawrence, 2019). Perselisihan geopolitik ini tidak hanya hadir di saluran berita arus utama, tetapi juga bergema di media sosial, memperkuat narasi yang saling bertentangan dari media Barat.
Tiongkok menganut paradigma komunikasi dan diplomasi yang sangat soft di level global. Foto: www.pexels.com
Citra internasional Tiongkok, yang sudah terdistorsi oleh tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, semakin tergerus ketika sejumlah negara Barat memutuskan melakukan boikot diplomatik terhadap Olimpiade Musim Dingin 2022. Peristiwa tersebut menjadikan Olimpiade bukan sekadar ajang olahraga, melainkan panggung utama bagi pertemuan antara diplomasi yang tegang dan strategi Tiongkok memproyeksikan budaya melalui soft power (Lopez-Mugica dkk., 2024).
Teori soft power Joseph Nye (1990; 2012; 2021) menjadi kunci memahami strategi Tiongkok ini. Nye menekankan bahwa kekuatan sebuah negara tidak hanya bertumpu pada militer (hard power), melainkan juga pada daya tarik nilai, budaya, dan kebijakan luar negerinya. Dalam konteks Olimpiade, soft power berfungsi sebagai sarana diplomasi budaya dan pencitraan. Upacara pembukaan Olimpiade, sebagai ritual global yang disaksikan jutaan pasang mata, menjadi ruang simbolis di mana Tiongkok menampilkan identitas dan narasi nasionalnya. Analisis semiotik atas upacara ini, beserta komentar audiens di YouTube, memperlihatkan bagaimana Tiongkok membangun citra diri sekaligus berhadapan dengan resepsi beragam dari audiens internasional.
Strategi soft power Tiongkok terdiri atas tiga dimensi: budaya, nilai politik, dan kebijakan luar negeri. Dari sisi budaya, Tiongkok sejak lama menggunakan diplomasi panda, seni bela diri, hingga pengobatan tradisional untuk membangun citra positif (Rosas, 2022). Olimpiade, sejak “ping pong diplomacy” era Mao Zedong dan Richard Nixon, menjadi simbol kekuatan olahraga sebagai jembatan politik (Hong & Zhouxiang, 2012). Upacara pembukaan Olimpiade Beijing 2008, misalnya, menekankan kejayaan peradaban Tiongkok sekaligus modernitas teknologi, sementara Olimpiade 2022 memperlihatkan usaha melampaui narasi “abad penghinaan” dan menegaskan Tiongkok sebagai kekuatan baru dunia.
Namun, dimensi nilai politik tidak lepas dari kontroversi. Keberhasilan Tiongkok memenangkan pencalonan tuan rumah Olimpiade 2008 misalnya, terkait dengan janji meningkatkan hak asasi manusia (Brownell, 2013). Akan tetapi, janji itu segera menimbulkan ekspektasi yang sulit dipenuhi. Dalam Olimpiade 2022, isu hak asasi manusia tetap menjadi sorotan utama media Barat, meskipun Tiongkok menekankan pesan harmoni, kemajuan sosial, dan stabilitas politik. Hal ini menegaskan adanya ketegangan antara narasi internal yang ingin ditampilkan Tiongkok dan persepsi global yang cenderung kritis.
Pada dimensi kebijakan luar negeri, Tiongkok memosisikan diri sebagai kekuatan damai melalui slogan “peaceful rise”. Namun, citra ini kerap berbenturan dengan fakta keterlibatan Tiongkok dalam sengketa Laut Cina Selatan maupun praktik diplomasi agresif yang dikenal sebagai Wolf Warrior diplomacy. Ketegangan ini juga tercermin dalam resepsi Olimpiade 2022: sebagian audiens melihat Tiongkok menampilkan nilai perdamaian melalui simbol-simbol estetis, tetapi sebagian lainnya justru menyoroti kontradiksi dengan kebijakan geopolitik nyata.
Analisis komentar audiens di YouTube memperlihatkan spektrum penerimaan yang luas. Ada yang memuji keindahan visual, kreativitas budaya, serta keberhasilan Tiongkok menyelenggarakan Olimpiade di tengah pandemi. Sebaliknya, ada pula yang mencibir penggunaan salju buatan sebagai simbol ironi dari klaim “Olimpiade hijau” dan menuduh Tiongkok mengabaikan isu lingkungan. Kritik juga diarahkan pada legitimasi politik, seperti tuduhan genosida terhadap etnis Uighur. Namun, studi juga menunjukkan bahwa persepsi positif lebih banyak ditemukan di kawasan Global South (Afrika, Amerika Latin, Asia Tenggara), sementara negara-negara Barat tetap skeptis (Silver et al., 2019).
Salah satu aspek menarik dalam Olimpiade 2022 adalah representasi keragaman etnis. Pemilihan atlet Uighur, Dinigeer Yilamujiang, sebagai pembawa obor utama bersama atlet Han Tiongkok dimaksudkan untuk menegaskan harmoni etnis. Namun, audiens global membaca simbol ini secara berbeda: sebagian melihatnya sebagai propaganda, sebagian lain justru menerima pesan persatuan. Kontroversi serupa terjadi pada pakaian tradisional Korea (hanbok) yang dikenakan dalam parade etnis, yang memicu perdebatan identitas antara Tiongkok dan Korea. Upacara ini berfungsi sebagai ruang “cultural translation” (Bhabha, 1994), di mana makna-makna budaya diperdebatkan lintas bangsa.
Selain isu etnis, dimensi lingkungan dan perdamaian juga menjadi titik tarik. Obor Olimpiade berbentuk “snowflake” dipuji sebagai simbol estetika damai dan persatuan, meski tidak luput dari komentar sinis audiens yang melihatnya kaku atau “kurang sophisticated”. Namun, simbol-simbol seperti serpihan salju yang menyatukan negara-negara dunia jelas diarahkan untuk menguatkan narasi “Tiongkok sebagai bangsa damai”. Resepsi yang terbelah ini menegaskan tesis Nye (2021) bahwa efektivitas soft power sangat bergantung pada penerimaan audiens, bukan hanya pada niat sang negara.
Alhasil, Olimpiade Musim Dingin 2022 menunjukkan betapa kompleksnya penggunaan mega-event sebagai arena soft power. Tiongkok berusaha menampilkan dirinya sebagai bangsa yang modern, damai, hijau, dan multikultural, namun citra tersebut tidak sepenuhnya diterima audiens global. Bagi negara-negara Global South, Tiongkok muncul sebagai alternatif kekuatan baru, tetapi bagi Barat, narasi tersebut sering dianggap propaganda. Di era keterhubungan digital, resepsi publik di media sosial menjadi indikator nyata apakah sebuah strategi soft power berhasil atau justru menghasilkan paradoks. Olimpiade 2022 bukan hanya panggung olahraga, tetapi juga medan kontestasi simbol, narasi, dan citra global Tiongkok.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.