Sejumlah orang tua korban salah tangkap memberikan keterangan kepada media di LBH Yogyakarta, Kamis (9/10/2025). - ist LBH Yogyakarta
Harianjogja.com, JOGJA—Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mendampingi sejumlah keluarga anak yang menjadi korban salah tangkap oleh Polres Magelang Kota, imbas dari demo yang berujung ricuh di Polres Magelang Kota akhir Agustus lalu. Anak-anak itu diduga mengalami penyiksaan dan datanya disebar.
Pendamping hukum keluarga korban dari LBH Yogyakarta, Royan Juliazka Chandrajaya, menjelaskan pasca-kerusuhan pada 29 Agustus itu, Polres Magelang Kota menangkap sedikitnya 53 orang yang dianggap terlibat dalam kerusuhan.
Dari jumlah tersebut, 26 di antaranya merupakan anak di bawah umur. LBH Yogyakarta berhasil menemui sebanyak 14 anak, antara lain DRP, 16 tahun; MNM, 17 tahun; IPO, 15 tahun; SPR, 16 tahun; NDP, 17 tahun; AAP, 17 tahun; AP, 15 tahun; DLP, 16 tahun; NH, 15 tahun; KEA, 14 tahun; GAG, 17 tahun; QAJ, 14 tahun; HRN, 15 tahun; dan NFA, 17 tahun.
“Dari jumlah itu, tujuh yang memutuskan untuk melanjutkan ini ke proses hukum. Dari cerita yang disampaikan orang tua korban, kami mencatat ada beberapa pola penyiksaan oleh polisi. Hampir semua anak ketika terjadi demonstrasi memang ada di alun-alun posisinya, sebagai tempat berkumpul pada umumnya,” ujarnya dalam konferensi pers di LBH Yogyakarta, Kamis (9/10/2025).
Ketika terjadi kerusuhan, polisi menembakkan gas air mata dan menyisir kawasan tersebut. Polisi menangkap siapa pun orang yang ada di sekitar lokasi kejadian tanpa mampu membuktikan orang-orang ini pelaku yang diduga melakukan perusakan kantor polisi. “Jadi polisi hanya menangkap secara acak orang di sekitar lokasi, akhirnya banyak korban salah tangkap,” katanya.
Setelah ditangkap, mereka tidak diberi kesempatan membela diri. Anak-anak juga diduga mendapat penyiksaan berupa lehernya dipiting, diseret, ditampar dengan sandal karet, wajahnya ditendang, kepala diinjak sepatu lars, sementara tangannya diborgol.
Setidaknya ada dua alat penyiksaan yang ditemukan LBH Yogyakarta, yakni selang dan keling yang digunakan untuk memukul kepala korban. “Mereka juga ditinju perutnya dan dicambuk dengan selang karena tidak mengaku ikut demo,” ungkapnya.
Tidak berhenti di situ, ketika mereka ditangkap, polisi mengambil data pribadi para korban seperti foto, nama lengkap, alamat, tanggal lahir, dan asal sekolah. “Setelah dibebaskan, datanya disebar ke mana-mana. Hampir di setiap desa tempat anak-anak tinggal semua tahu, ada keterangan anak-anak ini pelaku demo rusuh di depan Polres,” kata dia.
Sebelum dibebaskan, anak-anak diminta untuk tidak menceritakan apa yang dialaminya selama di kantor polisi. Jika menceritakan ke siapa pun, polisi mengancam untuk bertindak lebih keras kepada mereka. Hal ini membuat banyak keluarga korban takut melaporkan.
“Jadi mereka diancam sebelum dibebaskan. Artinya polisi sadar yang mereka lakukan salah. Makanya banyak orang tua tidak berani melanjutkan ini karena ketakutan,” paparnya.
Salah satu orang tua korban, Sumiati, menuturkan anaknya hanya bekerja di angkringan dekat Polres Magelang Kota, bukan demonstran apalagi yang merusak kantor polisi. Saat kerusuhan pecah, anaknya sedang menjaga angkringan dan hendak menutupnya.
“Anak saya jaga angkringan, pas ada demo mau tutup tapi dibawa polisi ke kantor. Dia ditendang perutnya, yang saya tahu cuma seperti itu. Saya minta bantuan LBH Yogyakarta membersihkan nama baik anak saya karena data anak saya tersebar. Semoga tidak ada korban selanjutnya seperti anak saya,” ungkapnya.
Orang tua korban lainnya, Hana, mengatakan anaknya pamit beli rokok sebelum penangkapan. “Ternyata beli rokoknya di dekat Polres, pas ada demo, kurang lebih 100 meter dari kantor polisi. Di situ sudah ada yang bilang mungkin warga, nanti ada pendemo mau diangkut,” ujarnya.
Namun karena merasa tidak terlibat dalam demo, anaknya tidak menghiraukan peringatan warga tersebut. “Lalu ada polisi masuk, langsung tangkap anak saya. Temannya yang lain tidak tertangkap, yang tertangkap anak saya saja,” paparnya.
Ia mendesak proses hukum yang seadil-adilnya atas perlakuan polisi terhadap anaknya dan pemulihan nama baik anaknya. “Saya sebagai orang tua juga tidak terima karena anak saya diperlakukan tidak manusiawi,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News