Oleh : Ronald Rulindo, PhD, Dosen Program Studi Bisnis Islam, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Patriot Bond belakangan ini ramai diperbincangkan sebagai wujud patriotisme baru para konglomerat Indonesia. Namun sejak gagasan ini diumumkan, lebih banyak kritik dibandingkan pujian. Patriot Bond dianggap sebagai cara halus negara “memalak” kelompok kaya. Kritik ini muncul karena imbal hasil yang ditawarkan jauh di bawah standar pasar, sekitar 2 persen per tahun.
Sebagai perbandingan, imbal hasil obligasi pemerintah atau Surat Utang Negara (SUN) tenor lima tahun per September 2025 berada di kisaran 6 hingga 7 persen per tahun. Sementara bunga deposito rupiah di bank-bank besar berkisar antara 4 hingga 5 persen.
Namun, pertanyaan penting muncul: benarkah para konglomerat itu dirugikan? Belum tentu!
Apabila dana Patriot Bond itu disalurkan pada proyek-proyek strategis yang pengelolanya adalah perusahaan milik para konglomerat juga, maka mereka akan meraih keuntungan ganda. Di satu sisi tetap menerima return tetap dari negara, di sisi lain memperoleh laba tambahan dari proyek yang mereka kendalikan.
Oleh karena itu, sebaiknya Danantara meninjau kembali rencana penerbitan Patriot Bond. Lebih baik Danantara menerbitkan Patriot Sukuk agar lebih jelas dan lebih adil; baik untuk pemerintah, masyarakat, dan juga para konglomerat yang diwajibkan untuk membeli Patriot Sukuk tersebut.
Sukuk pada dasarnya adalah surat berharga syariah yang mirip dengan obligasi, tetapi berbeda secara fundamental. Obligasi konvensional sekadar menempatkan investor sebagai kreditur yang mendapatkan bunga tetap, berapapun kondisi proyek yang dibiayai.
Disisi lain, Sukuk merupakat surat berharga yang mewakili kepemilikan atas aset atau proyek. Dengan Sukuk, Investor bukan sekadar pemberi pinjaman, melainkan mitra yang berbagi risiko sekaligus berbagi hasil. Imbal hasil yang diterima bukan bunga, tetapi bagian dari keuntungan yang dihasilkan proyek nyata.
Dalam praktiknya, sukuk dapat menggunakan akad mudharabah maupun musyarakah. Sukuk mudharabah menempatkan investor sebagai pemilik dana, sementara negara atau pengelola bertindak sebagai pelaksana proyek. Keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati sejak awal, sedangkan kerugian ditanggung pemilik modal kecuali akibat kesalahan dan kelalaian pengelola.
Disisi lain, Sukuk musyarakah lebih menekankan kemitraan: negara dan investor sama-sama menanamkan modal, lalu keuntungan maupun kerugian dibagi proporsional sesuai porsi kontribusi. Dengan cara ini, relasi menjadi lebih setara, transparan, dan berkeadilan.
Jika niat menghadirkan Patriot Bond benar-benar ingin menghadirkan patriotisme finansial, maka mekanisme Patriot Sukuk jauh lebih sesuai. Dengan sukuk, dana besar dari konglomerat bisa diarahkan untuk membiayai proyek-proyek yang memberi manfaat luas bagi rakyat: pembangunan energi terbarukan, konservasi lingkungan, pendidikan, atau ketahanan pangan. Investor tetap memperoleh keuntungan yang wajar, negara memperoleh dana segar, dan masyarakat merasakan dampak langsung.
Tidak ada kesan pemalakan, karena relasi yang dibangun adalah kemitraan yang setara.
Patriotisme finansial bukan sekadar soal berapa persen return di bawah bunga pasar, melainkan keberanian merancang instrumen yang adil, transparan, dan menyejahterakan semua pihak. Patriot Bond dengan imbal hasil rendah dan desain yang kabur hanya akan menimbulkan sinisme publik.
Sebaliknya, Patriot Sukuk menghadirkan paradigma baru: instrumen syariah berbasis kemitraan, transparansi, dan keadilan sosial. Karena itu, Patriot Sukuk bukan hanya pilihan yang lebih baik, melainkan model terbaik yang wajib dijalankan jika Indonesia benar-benar ingin membangun bangsa dengan cara yang bermartabat.