Jakarta, CNBC Indonesia - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menuduh junta militer Myanmar melakukan kekerasan dan intimidasi guna memaksa warga ikut serta dalam pemilu yang berada di bawah kendali militer. Pada saat yang sama, kelompok oposisi bersenjata juga dilaporkan melakukan tekanan untuk mencegah masyarakat mendatangi tempat pemungutan suara.
Kepala Hak Asasi Manusia PBB Volker Turk menegaskan otoritas militer Myanmar harus segera menghentikan praktik represif tersebut.
"Otoritas militer di Myanmar harus berhenti menggunakan kekerasan brutal untuk memaksa orang memilih dan berhenti menangkap orang karena menyatakan pandangan yang berbeda," ujar Turk dalam pernyataannya, seperti dikutip AFP, Selasa (23/12/2025).
Junta Myanmar dijadwalkan memimpin pemungutan suara yang dimulai Minggu ini. Militer mengklaim pemilu yang sangat dibatasi itu sebagai langkah kembali ke demokrasi, lima tahun setelah kudeta terhadap pemerintahan terpilih yang memicu perang saudara.
Namun, mantan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi masih dipenjara, sementara partainya yang populer telah dibubarkan sejak militer mengambil alih kekuasaan pada Februari 2021.
Sejumlah pengawas internasional menolak legitimasi pemilu bertahap yang berlangsung selama sebulan tersebut, menyebutnya sekadar upaya mengganti label pemerintahan militer. Turk sendiri sebelumnya menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu di Myanmar dalam kondisi saat ini "tidak terbayangkan".
Dalam pernyataan terbarunya, Turk memperingatkan bahwa warga sipil menghadapi ancaman baik dari otoritas militer maupun kelompok oposisi bersenjata terkait partisipasi mereka dalam pemilu. PBB mencatat puluhan orang ditahan berdasarkan "undang-undang perlindungan pemilu" hanya karena menggunakan kebebasan berekspresi.
Beberapa di antaranya bahkan dijatuhi hukuman berat. PBB menyoroti kasus tiga pemuda di Kota Hlainghaya, wilayah Yangon, yang dijatuhi hukuman penjara antara 42 hingga 49 tahun karena memasang poster anti-pemilu.
Kantor HAM PBB juga menerima laporan dari para pengungsi di sejumlah wilayah, termasuk Mandalay, yang diancam akan diserang atau rumahnya disita jika tidak kembali untuk memberikan suara.
"Memaksa pengungsi untuk melakukan kepulangan yang tidak aman dan tidak sukarela merupakan pelanggaran hak asasi manusia," tegas Turk.
Selain itu, ancaman juga datang dari kelompok bersenjata penentang militer. PBB mencatat sembilan guru perempuan dari Kyaikto dilaporkan diculik bulan lalu saat bepergian untuk mengikuti pelatihan terkait pemilu. Mereka kemudian dibebaskan dengan peringatan dari para pelaku.
Pernyataan PBB juga menyinggung aksi Tentara Yangon yang mengklaim bertanggung jawab atas pengeboman kantor administrasi di Hlegu dan Okkalapa Utara, wilayah Yangon, yang melukai sejumlah staf pemilu. Kelompok tersebut bersumpah akan "terus menyerang penyelenggara pemilu".
"Pemilu ini jelas berlangsung dalam lingkungan kekerasan dan penindasan," kata Turk. "Tidak ada kondisi bagi kebebasan berekspresi, berasosiasi, atau berkumpul secara damai yang memungkinkan partisipasi bebas dan bermakna dari rakyat."
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
















































