Pejabat Saling Serang Soal PPN 12%, Ada yang Cuci Tangan

17 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Konflik saling tuding mengenai penetapan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) semakin memanas. Ketegangan ini terjadi antara sejumlah fraksi di DPR RI, yakni PDI-Perjuangan (PDIP), Gerindra hingga Golkar.

Penolakan terhadap penerapan 12% yang dilakukan oleh PDIP dianggap aneh. Pasalnya, PDIP terlibat dalam panja pembuatan UU HPP. Penolakan PPN 12% sempat disampaikan PDIP saat paripurna DPR.

Waketum Partai Gerindra sekaligus Wakil Ketua Komisi VII DPR Rahayu Saraswati pun mempertanyakan perihal penolakan PDIP terhadap rencana kenaikan PPN 12%.

"Itulah kenapa saya heran saat ada kader PDIP berbicara di rapat paripurna, tiba-tiba menyampaikan pendapatnya tentang PPN 12%," kata Sara kepada wartawan, dikutip dari CNN Indonesia, Senin (23/12/2024).

Sara mengatakan sejumlah anggota DPR lainnya juga keheranan dengan penolakan PDIP. Sara mempertanyakan mengapa PDIP baru kini menolak PPN 12% persen.

"Jujur saja, banyak dari kita saat itu hanya bisa senyum dan geleng-geleng ketawa. Dalam hati, hebat kali memang kawan ini bikin kontennya. Padahal mereka saat itu ketua panja UU yang mengamanatkan kenaikan PPN 12% ini. Kalau menolak ya kenapa tidak waktu mereka ketua panjanya?" ujarnya.

Pernyataan Gerindra pun diikuti oleh Partai Golkar. Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun menegaskan kembali perihal andil PDIP dalam pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang menjadi dasar kenaikan PPN jadi 12%

Misbakhun menilai tidak selayaknya PDI Perjuangan membuat langkah-langkah politik cuci tangan seakan-akan mereka tidak terlibat dalam proses politik ketika membahas UU HPP, dimana penentuan kenaikan tarif PPN dari 10% naik secara bertahap menjadi 11% pada 1 April 2022 dan naik lagi menjadi 12% pada 1 Januari 2025 nanti. Semuanya Tertuang dalam UU HPP No. 7 Tahun 2021 tanggal 7 Oktober 2021.

Misbakhun pun mengatakan kalau saat ini ada upaya politik balik arah dari PDIP dengan melakukan upaya penolakan itu berarti mereka mau 'tinggal glanggang colong playu.'

"Mereka terlibat dalam proses politik pembuatan UU itu sebagai ketua Panja RUU Kententuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) adalah Dolfie OFP sebagai Ketua Panja saat pertama kali RUU itu diberikan nama, lalu berubah disetujui menjadi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)," kata Misbakhun.

Dia pun mengungkapkan sikap politik mencla-mencle PDIP seperti ini harus diketahui oleh semua rakyat Indonesia. Dia menuding PDIP ketika berkuasa berkata apa. Ketika tidak menjadi bagian dari kekuasaan seakan-akan paling depan menyuarakan kepentingan rakyat.

"Berpolitiklah secara elegan," tegasnya. Misbakhun menceritakan bahwa dirinya adalah bagian dari Anggota Panja RUU HPP. Namun, dia kerap tidak dilibatkan dalam rapat atau pertemuan tertentu.

Misbakhun mengatakan Fraksi Partai Golkar sempat tidak dilibatkan dalam beberapa pertemuan lobby dalam pembahasan RUU tersebut karena dianggap terlalu memberikan banyak pembahasan dan argumentasi bersifat kritis terhadap beberapa isu penting dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

"Ketika RUU dibahas, Fraksi Partai Golkar untuk tarif pajak UMKM justru meminta tarif nya diturunkan dari 1% menjadi 0,5%. Penurunan sebesar 0,5% itu setara dengan penurunan 50 persen. Ini adalah keberpihakan nyata Partai Golkar untuk masyarakat kelompok usaha mikro kecil dan menengah," ungkap Misbakhun.

Sikap politik Partai Golkar sangat jelas, lanjutnya, setelah UU HPP disetujui maka setiap UU harus dijalankan dalam rangka tertib bernegara dan berkonstitusi.

"Langkah Bapak Presiden Prabowo soal kenaikan PPN 12% jelas arahannya. Sesuai perintah UU HPP yaitu naik 12% untuk selected items hanya pada komponen barang yang selama ini terkena penjualan barang mewah," ujarnya.

PDIP Buka Suara

PDIP pun buka suara mengenai kisruh PPN 12% ini. Hal ini dipaparkan langsung oleh Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus. Deddy menegaskan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% melalui pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) bukan atas dasar inisiatif Fraksi PDIP.

Menurut Deddy, partainya tak bermaksud menyalahkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dia menjelaskan, pembahasan UU tersebut sebelumnya diusulkan oleh pemerintahan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) periode lalu. Saat itu, PDIP sebagai fraksi yang terlibat dalam pembahasan, ditunjuk sebagai ketua panitia kerja (panja).

"Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah (era Presiden Jokowi) dan melalui kementerian keuangan," kata Deddy dalam keterangan resminya, dikutip dari Detikcom, Rabu (24/12/2024).

Saat itu, Deddy mengatakan UU tersebut disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi Indonesia dan global dalam kondisi yang baik. Akan tetapi, kata Deddy, seiring perjalannya waktu, ada sejumlah kondisi yang membuat banyak pihak, termasuk PDIP meminta untuk dikaji ulang penerapan kenaikan PPN menjadi 12%.

Kondisi tersebut di antaranya, menurut PDIP, seperti daya beli masyarakat yang terpuruk, PHK di sejumlah daerah, hingga nilai tukar Rupiah terhadap Dollar yang saat ini terus naik.

"Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya," tegasnya.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Othniel Frederic Palit menjelaskan bahwa undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) merupakan inisiatif pemerintah Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) yang diusulkan ke DPR pada 2021.

UU HPP ini memang menjadi dasar kenaikan PPN jadi 12% tahun depan. Dolfie mengungkapkan UU HPP merupakan UU inisiatif pemerintahan Jokowi, yang disampaikan ke DPR tanggal 5 Mei 2021. Seluruh fraksi setuju untuk melakukan pembahasan atas usul inisiatif pemerintah atas RUU HPP

"UU HPP, bentuknya adalah Omnibus Law, mengubah beberapa ketentuan dalam UU KUP, UU PPh, UU PPN, dan UU Cukai. UU ini juga mengatur Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak dan Pajak Karbon," ujarnya anggota partai PDIP tersebut, dalam pernyataan resmi kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (24/12/2024).

Doflie yang merupakan Ketua Panja RUU HPP mengungkapkan kenaikan PPN sebenarnya didasarkan pertimbangan kondisi perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN, baik naik atau turun.

"Pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif tersebut dalam rentang 5% sd 15% (bisa menurunkan maupun menaikan); Sesuai UU HPP, Pasal 7 ayat (3), Pemerintah dapat merubah tarif PPN di dalam UU HPP dengan Persetujuan DPR," kata Dolfie.

Suara Sri Mulyani Soal PPN 12%

Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 2025 masih sesuai dengan amanat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Dia pun mengungkapkan penerapan tarif PPN sebesar 12% pada 2025 sudah melalui pembahasan yang panjang dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Semua indikator sudah dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

"Bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannnya," kata Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat di Gedung DPR, Rabu (13/11/2024).

Penerapan tarif baru sudah tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap, dari 10% menjadi 11% pada 2022 dan kemudian menjadi 12% pada 2025.

Sri Mulyani berkomitmen agar kebijakan dapat diimplementasikan dengan seksama, termasuk sosialisasi kepada masyarakat. Hal ini bertujuan agar masyarakat mendapatkan penjelasan yang lebih komprehensif dan tidak menimbulkan kegaduhan.


(haa/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: PPN 12%, Sri Mulyani: Ada Stimulus ke Rumah Tangga Hingga Buruh

Next Article Presiden Prabowo Ternyata Bisa Turunkan PPN Jadi 5%

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|