Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan, tanpa disadari, tanah dapat mengalami penurunan, bahkan hingga 10 cm per tahun. Penurunan tanah terjadi secara perlahan. Menurut BRIN, ada daerah yang sudah mengalami penurunan lebih dari 1 meter dalam 8 tahun.
Tapi, penyebabnya bukan gempa atau longsor yang langsung terasa seketika. Melainkan pengambilan air tanah berlebihan, tanah yang lunak, pemadatan alami sedimen, dan beban bangunan di atas tanah yang lunak.
Penurunan tanah ini pun disebut bisa jadi ancaman serius. Akibatnya di antaranya bisa memicu bangunan rusak, jalan amblas, dan rob yang semakin sering terjadi.
"Penurunan tanah merupakan ancaman serius, terutama di wilayah Pantai Utara Jawa seperti Jakarta, Pekalongan, dan Sayung, Demak," kata Periset Pusat Riset Geoinformatika BRIN Joko Widodo dalam unggahan di akun media sosial resmi BRIN, dikutip Jumat (10/10/2025).
"Jika tidak ditangani dengan langkah mitigasi dan adaptasi yang tepat, dampaknya bisa sangat merugikan mulai dari hilangnya wilayah daratan hingga terganggunya kehidupan masyarakat pesisir," tambahnya mengingatkan.
Dijelaskan, penurunan tanah atau land subsidence adalah turunnya permukaan bumi secara perlahan karena material di bawah tanah menyusut.
Penyebab utamanya yaitu pengambilan air tanah berlebihan, pemadatan alami sedimen dan beban bangunan di atas tanah yang lunak.
Kondisi Tanah di Jakarta-Pantura Mengkhawatirkan
Lalu bagaimana BRIN bisa mengetahui tanah telah mengetahui penurunan?
Ternyata, BRIN memanfaatkan teknologi Persistent Scatterer Interferometric Synthetic Aperture Radar (PS-InSAR) untuk mendapatkan data satelit radar yang mendeteksi pergerakan tanah secara presisi hingga skala milimeter per tahun.
Hasil pantauan BRIN, kondisi tanah di Jakarta cukup mengkhawatirkan.
"Di wilayah utara Jakarta, permukaan tanah mengalami penurunan sekitar 5-6 cm per tahun," tulis BRIN.
"Di Muara Baru, tanah sudah berada 2,4 meter di bawah permukaan laut saat pasang," lanjut BRIN.
Namun, sebut BRIN, tak hanya Jakarta, kota lain juga mengalami penurunan tanah ekstrem.
"Pekalongan mengalami penurunan tanah 10-19 cm per tahun, salah satu yang tertinggi di Pantura," tulis BRIN.
"BRIN menganalisis 45 citra radar dari 2014-2022. Sebanyak 60,9% wilayah kota menunjukkan penurunan signifikan. Beberapa titik bahkan sudah turun 1 meter dalam 8 tahun," beber BRIN.
BRIN menyebut penurunan tanah ini sebagai "pembunuh senyap" alias Silent Killer.
"Penurunan tanah terjadi diam-diam, tapi dampaknya besar seperti bangunan retak dan rusak, air laut makin jauh masuk ke daratan, serta rob puluhan kali lebih cepat dibanding kenaikan muka laut akibat iklim," jelas BRIN.
Ditambahkan, sebenarnya sudah ada kebijakan menyangkut hal ini. Tapi sayangnya belum tepat sasaran.
"DKI Jakarta punya Peraturan Gubernur No. 93/2021 tentang larangan pengambilan air tanah. Tapi hasil analisis PS-InSAR menunjukkan wilayah dengan penurunan tanah terparah, Jakarta Utara dan Jakarta Barat, belum masuk zona larangan," sebut BRIN.
BRIN pun merekomendasikan agar dilakukan pemantauan rutin dengan teknologi InSAR. Selain itu, pengambilan air tanah. Di saat bersamaan, dibutuhkan kesadaran publik.
Foto: Periset Pusat Riset Geoinformatika BRIN Joko Widodo. (Dok. BRIN)
Periset Pusat Riset Geoinformatika BRIN Joko Widodo. (Dok. BRIN)
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Aset PT Inuki Bakal Dialihkan ke BRIN, Begini Kelanjutannya