Peneliti Kembangkan Model Iklim yang Libatkan Masukan Masyarakat Adat

2 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Model simulasi iklim mampu memetakan dampak perubahan iklim secara rinci, mulai dari aliran sungai hingga risiko kebakaran hutan. Namun, nilai data tersebut dipersoalkan ketika komunitas yang paling terdampak tidak dapat memanfaatkannya dalam pengambilan keputusan.

Peneliti dari University at Buffalo, Amerika Serikat, mengembangkan kerangka kerja baru untuk memasukkan masukan komunitas terdampak, termasuk masyarakat adat, ke dalam Earth system models. Kerangka ini dipublikasikan dalam jurnal ilmiah AGU Advances.

Kerangka tersebut berbeda dari studi sebelumnya karena menempatkan perspektif perancang model dalam mengintegrasikan prioritas masyarakat ke dalam sistem pemodelan iklim yang kompleks. Pendekatan ini ditujukan agar hasil riset iklim lebih relevan dan dapat digunakan oleh komunitas lokal.

“Sering kali kami para pemodel mengambil keputusan terkait parameter riset secara tertutup. Padahal, merancang model bersama komunitas akan membuat pekerjaan kami jauh lebih nyata dan bermakna,” ujar penulis utama studi tersebut, Yifan Cheng, asisten profesor di Departemen Ilmu Kebumian University at Buffalo, seperti dikutip dari Phys.org, Senin (29/12/2025).

Cheng menekankan data iklim seharusnya tidak hanya akurat secara ilmiah, tetapi juga memberi manfaat langsung bagi masyarakat di wilayah yang dimodelkan. Kerangka ini disusun berdasarkan pengalamannya bekerja dengan masyarakat adat di Alaska dan California saat menjadi peneliti pascadoktoral di National Center for Atmospheric Research.

Dalam riset tersebut, Cheng berkolaborasi dengan ilmuwan sosial dari United States Geological Survey Southwest Climate Adaptation Science Center, Nicole Herman-Mercer. Menurut Herman-Mercer, pengembangan Earth system models selama ini melibatkan banyak keputusan teknis yang jarang melibatkan pengguna akhir.

“Pekerjaan kami menunjukkan memasukkan prioritas komunitas dan pengguna akhir ke dalam proses tersebut sangat mungkin dilakukan,” katanya.

Pengalaman lapangan menunjukkan pendekatan yang berbeda sesuai konteks wilayah. Di Alaska, proyek pemodelan mencakup wilayah sangat luas yang dihuni ratusan komunitas adat, sehingga masukan dijaring melalui dewan penasihat, survei, dan pertemuan dengan pemangku kepentingan. Namun, skala proyek membatasi penyesuaian model secara rinci.

Sebaliknya, di wilayah Mid-Klamath, California Utara, kolaborasi lebih terbatas dengan Suku Karuk memungkinkan penyesuaian model secara langsung terhadap kebutuhan komunitas, termasuk isu aliran sungai, populasi salmon, dan praktik pembakaran budaya.

Dalam proyek tersebut, tim pemodelan merevisi pendekatan ketika model kebakaran dinilai tidak mampu mensimulasikan penyebaran api secara dinamis. Prioritas komunitas juga memengaruhi pilihan parameter, seperti penekanan pada aliran sungai musim panas yang krusial bagi habitat salmon.

Berdasarkan dua pengalaman tersebut, Cheng menyimpulkan tidak ada pendekatan tunggal dalam perancangan model berbasis komunitas. Kerangka yang dikembangkan menawarkan empat tingkat perancangan bersama, mulai dari pengaturan awal model hingga pengembangan fungsi baru untuk merepresentasikan proses lingkungan yang belum tercakup.

“Pemodel dapat menggunakan satu atau beberapa tingkat tersebut. Bahkan perancangan bersama paling dasar sudah dapat meningkatkan kegunaan hasil model,” ujar Cheng.

Ia juga menekankan pentingnya hubungan jangka panjang dan kepercayaan dengan masyarakat adat sebagai fondasi utama dalam kolaborasi sains dan komunitas.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|