Pungli dan Minta Jatah Proyek di RI Ternyata Subur sejak Zaman Kerajaan

8 hours ago 5

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan pengusaha resah atas maraknya pungutan liar (pungli) yang dilakukan kalangan ormas di berbagai proyek di Indonesia. Sebab pungli dengan nominal bervariasi hingga ratusan juta membuat para pengusaha mengeluarkan biaya lebih dan tak memiliki kepastian berbisnis.

Maraknya tindakan premanisme yang berkedok ormas di negara ini secara tidak langsung telah mengganggu iklim investasi yang ada di Indonesia. Sejumlah investor baik asing maupun lokal mengeluh bahkan tak segan-segan mengancam akan menarik kembali investasinya jika hal ini masih terjadi.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kepatuhan dan Etika Bisnis Haryara Tambunan mengatakan tindakan premanisme ini sangat tidak dibenarkan dan bisa mengganggu minat investor khususnya dari asing untuk turut serta membangun perekonomian di Indonesia kedepannya.

Saat ini kadin tengah berkoordinasi dengan pihak aparat penegak hukum dan institusi lainnya termasuk TNI-POLRI untuk meminta bantuan kerjasama dalam memetakan serta menertibkan ormas-ormas nakal yang menjalankan praktek premanisme di beberapa perusahaan-perusahaan baik asing maupun lokal yang saat ini tengah membangun pabrik-pabrik baru bersama dengan pemerintah.

"Kita akan terus berkomunikasi dan koordinasi dengan pihak kepolisian dan instansi hukum lainnya terkait keluhan yang masuk dari para rekan pengusaha dan investor, dan kami percaya serta berharap kepada mereka agar kasus-kasus seperti ini segera diselesaikan," katanya dikutip Sabtu (15/3/2025).

Pungli di Indonesia terjadi bukan belakangan ini, tetapi berakar dari zaman kerajaan kuno. Artinya, selama ribuan tahun pungli tak pernah pergi dan sudah mendarah daging di Indonesia. Ini yang jadi penyebab kebiasaan tersebut tak bisa hilang, sehingga seakan-akan menjadi sesuatu kelaziman alias hal wajar. Apalagi, Indonesia punya mental korupsi kuat.

Sejarawan Onghokham dalam Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2003) menyebut, akar sejarah pungli berasal kebiasaan pejabat dan sistem pembiayaan negara tradisional, yakni kerajaan-kerajaan Indonesia dari Majapahit sampai ke Mataram dan kesultanan-kesultanan lain di kepulauan ini. Awalnya, bermula dari kebijakan raja yang tidak memberi gaji kepada pejabat.

Para pejabat di kerajaan tradisional hanya diberi tanah, petani, atau hak-hak khusus seperti memungut upeti dan bea-cukai. Artinya, pejabat harus mencari uang sendiri. Masalahnya, pemberian raja tersebut tak mencukupi kebutuhan pejabat sehari-hari.

Maka, pejabat pun harus mencari uang sendiri. Caranya lewat menarik biaya dari rakyat di setiap urusan. Padahal, penarikan tersebut tergolong ilegal atau tidak ada aturannya. Hal demikian sekarang disebut pungutan liar.

"Staf atau pegawai para pejabat itu juga sedikit-banyak otonom dalam keuangan. Mereka harus mencari nafkah sendiri dari kedudukannya itu," tulis Onghokham.

Pelayan bupati, misalnya, sering menerima uang dari orang lain atau pegawai rendah yang mengurus jabatan. Lalu, bupati juga sering meminta "jatah" kepada para penjual di pasar. Atas dasar ini, terkadang para pejabat sering lebih kaya dibanding rajanya. Ketika raja datang, misalnya, pejabat menjamu raja jauh lebih mewah dibanding raja itu sendiri.

Sayang, ketika kerajaan kuno runtuh dan zaman terus berganti, cara demikian tak ikut hilang. Malah mendarah daging menjadi kelaziman yang harus dilakukan seseorang. Inilah yang membuat praktik demikian terus ada.


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Ormas hingga Aparat Minta "Jatah" THR, Pengusaha Terbebani!

Next Article Video: Viral "Pungli" Program Makan Gratis, DPR Minta Warga Lapor

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|