Quiet Quitting, Istilah Baru Gagasan Lama

1 hour ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia kerja mengalami perubahan drastis sejak pandemi Covid-19 merebak, menghasilkan pola pikir yang kini mendominasi media sosial, yakni tren quiet quitting. Istilah ini marak dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan gen Z, sebagai gerakan “bekerja sesuai upah”.

Berdasarkan Cambridge Dictionary, quiet quitting adalah aktivitas melakukan pekperjaan yang perlu dilakukan untuk mempertahankan pekerjaan, tetapi melakukannya tanpa antusiasme atau usaha besar, serta tanpa kesediaan untuk melakukan tugas tambahan. Quiet quitting menggambarkan situasi ketika seorang karyawan secara mental dan emosional meninggalkan pekerjaannya, dan hanya melakukan hal minimum untuk bertahan.

Menurut Cambridge Dictionary, tidak ada hal baru dalam quiet quitting karena pada dasarnya ini hanyalah nama baru bagi fenomena lama. Belum jelas kapan tren quiet quitting lahir, namun budaya tersebut telah meluas di berbagai negara lewat media sosial. Anak muda menjadi yang paling vokal karena mendominasi ruang digital.

Mengutip BBC News, gerakan ini kemungkinan besar berasal dari China dengan tagar #tangping, yang kini disensor, berarti “berbaring telentang”, digunakan sebagai protes terhadap budaya kerja lembur.

Pada 2022, viral tagar #quietquitting yang mengampanyekan pesan bahwa quiet quitting berarti “Anda tidak sepenuhnya berhenti dari pekerjaan, tetapi berhenti dari gagasan untuk melangkah lebih jauh”. Istilah ini pun booming dan mendominasi pemberitaan global.

Profesor Fakultas Manajemen University College London, Anthony Klotz, mengatakan istilah quiet quitting memang baru, tetapi gagasan di baliknya sudah lama ada. “Meskipun berasal dari generasi muda dan dalam kemasan baru, tren ini telah dipelajari dengan berbagai nama selama beberapa dekade disengagement, neglect, withdrawal,” ujar Klotz.

Menurut Klotz, ada berbagai alasan pekerja melakukan quiet quitting. Mulai dari kurangnya apresiasi atau penghargaan perusahaan, baik materi maupun nonmateri, hingga perlambatan pertumbuhan ekonomi.

“Banyak orang tidak berada dalam posisi untuk meninggalkan pekerjaan mereka. Mereka mungkin memiliki keterampilan yang tidak dapat dipindahtangankan, fleksibilitas yang sudah terkumpul, tunjangan yang tidak bisa diperoleh di tempat lain, atau tinggal di komunitas kecil dengan peluang kerja terbatas,” tuturnya.

Ia menambahkan, kondisi ekonomi berperan dalam mempertahankan pekerjaan meski karyawan tidak lagi merasa bahagia. “Perlambatan ekonomi meningkatkan risiko dan biaya terkait pengunduran diri karena pasar kerja yang melemah,” ujarnya.

Di samping itu, Klotz menyebut, bermalas-malasan bisa menjadi pilihan logis bagi pekerja yang merasa tidak dapat berkembang atau tidak lagi memprioritaskan karier. “Selalu bekerja melebihi tugas menguras sumber daya mental dan menyebabkan stres,” katanya.

“Dan hanya ada sedikit manfaat melakukannya jika seseorang merasa terjebak di perusahaan. Jadi quiet quitting tidak hanya berlaku bagi generasi muda, tetapi juga bagi siapa pun yang pernah merasa terjebak dalam pekerjaan dengan sedikit alasan untuk mengundurkan diri,” kata Klotz.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|