Ramai-ramai Tolak PPN 12%: Pengusaha, Akademisi Sampai Buruh Teriak

2 months ago 16

Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan sinyal kuat bahwa, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang diamanatkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) naik menjadi 12% pada Januari 2025 akan tetap dilaksanakan.

Penegasan ini ia sampaikan saat rapat kerja dengan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Komisi XI DPR. Sri Mulyani menjawab pertanyaan para anggota DPR tentang kepastian kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025.

"Sudah ada UU, nya kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan. Tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa... bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannnya," tegas Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi XI, dikutip Senin (25/11/2024).

Sri Mulyani memastikan, saat adanya keputusan kenaikan tarif PPN itu pemerintah akan melakukan penjelasan secara gamblang kepada masyarakat tentang latar belakang kebijakan itu hingga manfaatnya bagi keuangan negara.

"Saya setuju bahwa kita perlu banyak memberikan penjelasan kepada masyarakat. Artinya walaupun kita buat policy tentang pajak termasuk PPN bukannya membabi buta atau tidak punya afirmasi atau perhatian pada sektor-sektor seperti kesehatan, pendidikan, bahkan makanan pokok waktu itu debatnya panjang di sini," tegasnya.

Menurut Sri Mulyani, di tengah keputusan kenaikan tarif PPN itu pemerintah tetap memberikan ruang keringanan pajak supaya daya beli masyarakat tidak tertekan, seperti banyaknya jenis barang atau jasa yang tidak dipungut pajak.

Sayangnya, banyak pihak yang telah merasa bahwa kebijakan ini tidak tepat dijalankan ketika masyarakat menghadapi tekanan daya beli. Tak sedikit pengusaha, buruh ekonom, akademisi hingga legislator yang menolak.

Suara Pengusaha

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan, kenaikan PPN ini akan berdampak pada harga produk makanan dan minuman (mamin) olahan yang harus dibayar konsumen.

"Dampaknya besar sekali. Karena kenaikan 1% itu akan dirasakan oleh konsumen. Apalagi FMCG (fast moving consumer goods) pangan itu price sensitive," katanya kepada CNBC Indonesia, Senin (25/11/2024).

Dia mengatakan, kenaikan PPN 1% akan memicu kenaikan di tiap rantai pasok produksi mamin olahan.

"Karena kebanyakan ritel dan IKM tidak tertib admin, maka kenaikan PPN akan memicu langsung ke harga," ujarnya.

"(Efek ke harga yang harus dibayar konsumen) bisa beda. Picu kenaikan harga 2-3% yang harus dibayar konsumen," tambah Adhi.

Padahal, imbuh dia, saat ini kondisi daya beli orang Indonesia, terutama kelas bawah masih belum pulih.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, kebijakan PPN naik jadi 12% di tahun 2025 berpotensi jadi bumerang bagi pemerintah. Sebab, kata dia, pada ujungnya, kenaikan PPN ini justru akan menggerus penerimaan negara.

"Bagi produsen, kenaikan PPN ini akan mengganggu cashflow perusahaan. Karena perusahaan kan harus membeli bahan baku, yang dikenakan PPN juga. Yang tadinya 11% jadi 12%. Artinya ini menambah beban di seluruh rantai nilai di tengah kesulitan cashflow yang sedang dialami sektor manufaktur kita," kata Redma kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (25/11/2024).

Adapun,i bebannya tidak secara langsung ke biaya produksi, karena kemudian akan dibebankan ke harga jual barang jadinya, yang ditanggung konsumen akhir. Dia pun menjelaskan rantai industri ini dari produsen ke konsumen.

"Paraxylene (PX) ke Purified Terephtalic Acid (PTA), PTA ke fiber, fiber ke benang, benang ke kain, kain ke kain finish, kain finish ke pakaian jadi, pakaian jadi ke retail, akhirnya ke konsumen. Di masing-masing rantai itu ada tambahan cashflow untuk cover kenaikan PPN," jelasnya.

Produsen, lanjutnya, secara keseluruhan memang tidak kena efek kenaikan PPN tersebut. Karena, tambahan biaya itu akan ditanggung si konsumen. Namun, untuk menghasilkan produk, produsen harus mengeluarkan biaya lebih meski kemudian nanti akan terganti oleh omzet hasil penjualan.

"Efeknya memang hanya karena harus menyediakan tambahan cashflow. Tambahan cashflow ini ada tambahan beban bunganya. Selain itu juga selisih PPN keluaran dan masukannya jadi lebih besar (penerimaan negara). Tapi memang ini semua dilanjutkan ke konsumen," ungkap Redma.

Akibatnya, imbuh dia, karena harga yang harus dibayar konsumen jadi lebih mahal karena kenaikan PPN tersebut, daya saing produk yang diproduksi pabrik di Tanah Air akan kalah kompetitif.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menilai kebijakan ini tidak tepat waktu dan berpotensi mengancam pemulihan sektor hotel dan restoran yang masih berjuang pascapandemi Covid-19.

Menurut Yusran, kenaikan PPN akan berdampak pada tarif kamar hotel perhotelan dan harga yang harus dibayarkan konsumen restoran. Meski bersifat dinamis, imbuh dia, tekanan kenaikan biaya operasional membuat kenaikan harga tidak terhindarkan. Sebab, jelasnya, hotel dan restoran memiliki rantai pasok yang begitu banyak, seperti bahan makanan dan kebutuhan dasar lainnya.

Karena itu, dia meminta pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan ini agar tidak kontraproduktif terhadap pemulihan ekonomi. Apalagi, dengan kondisi daya beli masyarakat yang belum pulih, kenaikan PPN justru berpotensi melemahkan sektor pariwisata yang menjadi salah satu penggerak ekonomi nasional.

"Kenaikan PPN 12% menurut hemat kami belum tepat saat ini. Karena kondisi ekonomi yang terjadi saat ini adalah daya beli kita rendah, sedang menurun. Sementara kami di sektor pariwisata itu sangat membutuhkan daya beli masyarakat yang terjaga dengan baik. Yang paling utama kita khawatirkan adalah daya belinya itu sendiri. Jadi kalau daya belinya terus menurun, tentu demand daripada hotel dan restoran itu otomatis akan terpukul nantinya. Karena kenaikan 1 poin itu dampaknya langsung ke masyarakat," kata Maulana dalam Profit CNBC Indonesia, dikutip Senin (25/11/2024).

"Bahan pokok daripada hotel itu ada dari amenities-nya, kemudian juga kebutuhan untuk makan minumannya, untuk bahan pokok makan minumannya, dan banyak lagi di dalam komponen itu yang memicu untuk terjadi peningkatan harga di dalam sana. Jika harga naik, konsumennya belum tentu tetap sama. Apalagi daya beli masyarakat masih jadi masalah utama," tambahnya.

Kenaikan PPN, lanjutnya, akan semakin membebani masyarakat dan berpotensi melemahkan aktivitas wisatawan, khususnya wisatawan domestik yang menjadi tulang punggung sektor pariwisata saat ini.

"Pascacovid-19, bisnis sektor pariwisata, khususnya industri hotel dan restoran memang belum mencapai titik recovery-nya. Jadi ini agak menyulitkan bagi sektor pariwisata," ujarnya.

Suara Buruh

Sementara itu, kelompok buruh telah mengancam menggelar aksi mogok kerja nasional jika pemerintah tetap menaikkan PPN menjadi 12% mulai Januari 2025.

Hal ini disampaikan langsung oleh Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal. Dia menegaskan aksi mogok kerja akan dilakukan selama dua hari.

"Aksi ini direncanakan akan menghentikan produksi selama minimal dua hari," kata Said Iqbal, dalam keterangannya.

Dia menilai upaya pemerintah meningkatkan rasio pajak seharusnya tidak dilakukan dengan membebani rakyat kecil.

"Tetapi dengan memperluas jumlah wajib pajak dan meningkatkan penagihan pajak pada korporasi besar dan individu kaya," tegasnya. Menurut Said Iqbal, kenaikan PPN 12% hanya akan menekan daya beli, mengancam keberlangsung usaha, memici risiko PHK dan memicu kesenjangan sosial,

"Lesunya daya beli ini juga akan memperburuk kondisi pasar, mengancam keberlangsungan bisnis, dan meningkatkan potensi PHK di berbagai sektor," ungkap Said Iqbal.

Suara Akademisi & Ekonom

Berdasarkan kajian LPEM FEB UI dalam Seri Analisis Makro Ekonomi Indonesia Economic Outlook 2025 disebutkan bahwa PPN dapat berisiko memperburuk tekanan inflasi.

"Tarif PPN yang lebih tinggi biasanya mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan. Efek ini dapat menjadi tantangan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mungkin mengalami penurunan daya beli, sehingga mengarah pada penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan," kata Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky.

Dalam kajian LPEM FEB UI, Teuku menyebutkan beban saat tarif PPN masih sebesar 10% pada periode 2020-2021, rumah tangga kaya atau 20% terkaya menanggung 5,10% dari pengeluaran, sementara rumah tangga miskin atau 20% masyarakat termiskin menanggung 4,15% dari pengeluarannya.

Setelah kenaikan tarif PPN 11% di 2022-2023, rumah tangga kaya memikul 5,64% dari pengeluaran untuk PPN. Sedangkan rumah tangga miskin hanya 4,79% dari pengeluarannya.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Listiyanto mengkritik keras rencana pemerintah yang bersikeras menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% pada 2025 di tengah tertekannya daya beli masyarakat.

"Kalau PPN naik 12%, maka kemungkinan besar konsumsi rumah tangga turun 0,26%. Maka, kalau kuartal III-2024 tumbuh 4,91%, kurangi saja minus 0,26%," kata Eko dalam acara Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 beberapa waktu lalu.

Eko menekankan, bila PPN terus dinaikkan saat ekonomi masyarakat tertekan, maka tak heran bila pertumbuhan ekonomi ke depan akan terus bergerak di level bawah 5%, sebab konsumsi rumah tangga mendominasi struktur PDB dengan porsinya mencapai 53,08%.

"Itu signifikan ke pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi juga bisa turun 0,17%. Jadi ibaratnya kalau nekat naikkan PPN 12%, kita mulai bicara pertumbuhan ekonomi di bawah 5%," ungkap.

Oleh sebab itu, Eko menganggap, pemerintah tidak perlu mencari alasan ekonomi Indonesia pada 2025 yang berpotensi makin tertekan karena kebijakan PPN dengan menyalahkan kembalinya Donald Trump memimpin AS setelah menang Pilpres 2024

"Jadi kalau kukuh begitu ya ada implikasinya, target pajak bisa saja tercapai tapi pertumbuhan ekonomi tidak tumbuh. Terus nanti malah cari alasan, karena Trump terpilih dan seterusnya," ucap Eko.

Suara Wakil Rakyat

Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menilai Kemenkeu perlu melakukan terobosan lain dalam meningkatkan pemasukan negara selain melalui pajak. Terlebih, kondisi ekonomi Indonesia saat ini dinilai lesu.

Selain itu, kenaikan pajak tersebut dinilainya bertentangan dengan konsep Countercyclical Capital Buffer (CCyB) yang digaungkan Kementerian Keuangan pada masa pandemi Covid-19 lalu.

"Tidak berarti ketika kita ingin terus meningkatkan tren pajak yang dilakukan adalah sebagaimana yang sudah dilakukan dan saya juga tahu itu ada di Undang-Undang HPP dengan meningkatkan PPN dari 11 menjadi 12 persen," tegasnya.

Dia pun menjelaskan bahwa kondisi di masyarakat di lapangan kini yang mengalami penurunan daya beli. Hal itu terjadi lantaran PHK massal terjadi di mana-mana akibat banyaknya perusahaan besar yang tutup.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie O.F.P memastikan penundaan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% tidak perlu mengubah Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dia mengatakan ketentuan tersebut sebenarnya sudah diatur dalam UU HPP.

"Undang-undang pajaknya enggak perlu diubah. Karena di undang-undang itu sudah memberikan amanat ke pemerintah. Kalau mau turunin tarif boleh, tapi minta persetujuan DPR," kata Dolfie.

Dia mengatakan ketentuan mengenai penundaan tanpa merombak UU itu tercantum dalam Pasal 7 UU HPP. Dalam Pasal 7 Ayat (3) disebutkan pemerintah bahkan boleh mengubah ketentuan PPN menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% melalui Peraturan Pemerintah (PP).


(haa/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: PPN Naik 12% Dikritik Rakyat, Dunia Usaha Pun Ikut Tercekat!

Next Article Tak Ada Pembatalan, PPN Naik Jadi 12% di 2025 Sesuai UU!

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|