Sampai 2033, RI Butuh Rp 1.747 Triliun Garap Proyek Energi Terbarukan

2 months ago 21

Baku, CNBC Indonesia - PT PLN (Persero) memperkirakan kebutuhan investasi untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan di Tanah Air mencapai US$ 110 miliar atau sekitar Rp 1.747 triliun (asumsi kurs Rp 15.888 per US$) selama 2024-2033 mendatang.

Direktur Keuangan PLN Sinthya Roesli mengatakan, total kebutuhan investasi tersebut ditujukan untuk pembangkit listrik maupun jaringan transmisi dan distribusi listrik. Hal itu rencananya akan dituangkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2024-2033.

Kebutuhan dana untuk proyek pembangkit listrik energi terbarukan diperkirakan mencapai US$ 80 miliar atau sekitar Rp 1.271 triliun, dan sekitar US$ 30 miliar atau Rp 476 triliun untuk proyek jaringan transmisi dan distribusi listrik.

Dari kebutuhan investasi tersebut, PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ketenagalistrikan RI tentunya memiliki kontribusi yang sangat besar.

Sinthya menyebut, untuk kebutuhan US$ 80 miliar proyek pembangkit listrik, PLN akan berkontribusi sekitar US$ 30 miliar atau sekitar 38% dari kebutuhan investasi pembangkit energi terbarukan. Sedangkan sekitar 62% atau US$ 50 miliar akan berasal dari pengembang listrik swasta atau Independent Power Producers (IPP).

Sementara untuk proyek transmisi dan distribusi listrik, kontribusi PLN akan mencapai sekitar 50% atau US$ 15 miliar, dan selebihnya berpotensi akan didukung oleh pendanaan pemerintah.

"Untuk itu, kami menyiapkan rencana pendanaan tahunan untuk mempersiapkan kebutuhan dana proyek-proyek tersebut," ucap Sinthya pada acara panel diskusi di Paviliun Indonesia COP29 di Baku, Azerbaijan, dikutip Senin (18/11/2024).

Dia memaparkan beberapa sumber pendanaan prioritas perseroan, antara lain Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk proyek yang tidak masuk secara keekonomiannya, lalu mengutamakan pendanaan murah dan hibah, dan meningkatkan porsi pinjaman dengan denominasi rupiah untuk mengurangi tekanan akibat perubahan kurs.

Tak hanya itu, menurutnya perseroan juga akan merencanakan pinjaman jangka panjang untuk proyek-proyek yang tengah dibangun, serta memanfaatkan pendanaan, baik dari lembaga penjamin multilateral maupun internasional untuk mengurangi risiko gagal bayar dan eksposur pembatasan pinjaman bagi PLN.

"Kita juga akan bernegosiasi untuk paket pendanaan yang lebih fleksibel pada perjanjian pinjaman dan juga mempertimbangkan pinjaman suku bunga tetap untuk mengurangi risiko perubahan tingkat suku bunga," ujarnya.

Dia menjelaskan, pengembangan proyek pembangkit listrik energi terbarukan dan juga jaringan transmisi dan distribusi listrik tersebut tak lain guna menekan emisi karbon hingga 148 juta ton CO2 pada 2030 untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) dari saat ini 300 juta ton.

Bila tidak ada upaya, maka menurutnya emisi karbon bisa melonjak menjadi 500 juta ton emisi CO2.

"Nah ini yang kita coba bangun bagaimana CO2 emissions reduction dan greenhouse CO2 intensity per kWh-nya seperti apa, dari 0,88 menjadi sekitar 0,74 kg per kWh atau ton per mega Watt hour (MWh) itu sebagai reference rencana infrastrukturnya seperti apa. Bukan hanya pembangkitnya saja, tapi juga dari sisi transmisi dan distribusi untuk support renewable energy," tuturnya.

Dia menyebut, dari kebutuhan investasi US$ 110 miliar tersebut, pihaknya telah menjajaki potensi pendanaan sebesar US$ 46,9 miliar atau sekitar Rp 745 triliun. Potensi pendanaan tersebut berasal dari lembaga penjamin multilateral, Export Import Agency, bank-bank komersial, maupun sejumlah platform kemitraan seperti Just Energy Transition Partnership (JETP).


(wia)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Hadiri COP29, PLN Siap Tambah Pembangkit Hijau

Next Article Bahlil Sebut 10 Tahun Lagi 60% Sumber Listrik RI dari Energi Hijau

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|