Oleh : Selamat Ginting, Pengamat Komunikasi dan Politik dari Universitas Nasional (UNAS)
REPUBLIKA.CO.ID, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun ini menampilkan sebuah ironi yang tidak bisa diabaikan. Dua pemimpin dari latar belakang yang kontras tampil hampir berurutan di podium yang sama, Kamis (25/9/2025) WIB. Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto.
Keduanya tampil percaya diri, berbicara dalam bahasa Inggris yang fasih, dan sama-sama mengusung isu-isu besar. Namun, di balik kesamaan teknis itu, terdapat perbedaan fundamental dalam cara pandang, gaya komunikasi, dan pesan yang mereka sampaikan kepada dunia.
Retorika Konfrontatif vs Diplomasi Moral
Trump tampil dengan gaya khasnya: bombastis, sarkastik, dan penuh nada konfrontatif. Ia menyebut PBB sebagai institusi yang gagal, menyalahkan sistem imigrasi global, menyebut energi hijau sebagai “penipuan besar”, dan menyarankan negara-negara menutup diri. Insiden kecil seperti gangguan teleprompter bahkan dijadikan drama yang mempermalukan staf teknis, bukan diatasi dengan ketenangan seorang negarawan.
Sebaliknya, Prabowo menyampaikan pidato yang lebih tenang, namun sarat makna. Ia menyuarakan keprihatinan terhadap konflik di Gaza, menyinggung penderitaan anak-anak dan kehancuran fasilitas medis, lalu menyerukan solusi dua negara—dengan keberanian politik untuk menyatakan dukungan atas pengakuan negara Palestina. Tidak hanya itu, Indonesia di bawah kepemimpinannya bahkan menyatakan kesediaan mengirim pasukan perdamaian dan menanggung biaya sendiri.
Prabowo tidak bermain retorika kosong. Ia menawarkan aksi. Dalam forum internasional, itu adalah bentuk diplomasi moral yang mulai langka.
Dua Poros Kepemimpinan Global
Apa yang kita saksikan bukan sekadar dua pidato. Itu adalah pertemuan dua poros kepemimpinan dunia. Trump mewakili gelombang populisme kanan global: eksklusif, nasionalistik, dan penuh retorika identitas. Prabowo, di sisi lain, mewakili suara dari Global South yang semakin berani tampil: inklusif, humanis, dan konstruktif.
Di tengah meningkatnya fragmentasi geopolitik dunia, suara seperti yang dibawakan Prabowo menjadi angin segar. Dunia tidak hanya membutuhkan pemimpin besar secara ekonomi atau militer, tetapi juga secara moral. Prabowo, dengan nada yang tenang namun jelas, menunjukkan bahwa Indonesia siap mengambil peran tersebut.
Panggung PBB dan Politik Global
Secara politik internasional, pidato Trump tidak ubahnya sebagai lanjutan kampanye domestiknya. Ia tidak menyasar konsensus global, melainkan menggemakan suara pendukungnya di dalam negeri. Prabowo sebaliknya, berbicara sebagai pemimpin dari negara berkembang yang mengajak dunia untuk bertindak bersama, tanpa menyalahkan, tanpa menyudutkan.
Dalam komunikasi politik, ini adalah kontras yang tajam. Trump menggunakan podium PBB sebagai panggung agitasi. Prabowo menggunakannya sebagai ruang diplomasi moral. Dan publik dunia, termasuk media internasional, bisa melihat perbedaan itu dengan sangat jelas.
Indonesia dan Momentum Baru
Bagi Indonesia, ini adalah momen penting. Prabowo tidak hanya menjalankan protokol sebagai kepala negara, tetapi berhasil mengukuhkan posisi Indonesia sebagai suara yang relevan di tengah pergeseran tatanan global. Ia tampil sebagai pemimpin dengan karakter dan visi internasional yang mandiri.
Dukungan terhadap Palestina yang disampaikan dengan keberanian, namun tetap menyelipkan jaminan keamanan bagi Israel, menunjukkan kemampuan menjaga keseimbangan diplomatik yang langka. Komitmen terhadap pengiriman pasukan perdamaian—dengan biaya sendiri—menandakan kesiapan Indonesia berkontribusi secara nyata, bukan hanya retoris.
Kesimpulan
Panggung PBB bukanlah ruang debat politik domestik. Ini adalah forum tempat suara-suara pemimpin dunia diuji. Apakah mereka sekadar mengulang narasi nasional mereka, atau mampu menyentuh nurani global? Jika pengaruh pidato diukur bukan dari seberapa keras suara terdengar, melainkan seberapa dalam ia menggugah, maka malam itu Prabowo menang dalam diam.
Di saat satu pemimpin sibuk membangun tembok dan menyebar ketakutan, pemimpin lain membangun jembatan dan menawarkan harapan. Dunia mungkin tidak kekurangan suara keras. Tapi dunia selalu kekurangan suara yang berbicara dengan hati. Pada malam itu di New York, dunia mendengar suara dari Indonesia—jernih, tegas, dan penuh empati.