Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia influencer yang dulu menjanjikan popularitas dan penghasilan besar kini mulai menunjukkan sisi kerasnya. Persaingan antar kreator kian ketat, sementara peluang cuan tak lagi semudah dulu.
Di balik sorotan kamera dan layar ponsel, banyak influencer berjuang mempertahankan pendapatan mereka.
Beberapa deretan nama influencer terkenal dunia adalah YouTuber Mr. Beast, hingga TikToker Charli D'Amelio. Di Indonesia, salah satu nama pesohor media sosial ada Atta Halilintar, Raffi Ahmad, dan lainnya.
Menurut laporan The Wall Street Journal, berbagai platform kini lebih berhati-hati dalam membagikan komisi kepada kreator. Di sisi lain, merek-merek besar pun semakin selektif dalam memilih mitra promosi.
Salah satu yang merasakannya adalah Clint Brantley, kreator konten penuh waktu sejak tiga tahun lalu. Ia rutin mengunggah video di TikTok, YouTube, dan Twitch, dengan fokus pada tren seputar game mobile Fortnite.
Meski memiliki lebih dari 400.000 follower dengan rata-rata view pada kontennya lebih dari 100.000, penghasilan Brantley pada tahun lalu lebih kecil daripada gaji median tahunan pekerja full-time di AS pada 2023 sebesar US$ 58.084 atau Rp 950 jutaan.
Pria berusia 29 tahun itu tak siap berkomitmen untuk menyewa apartemen karena penghasilannya yang tak tetap. Saat ini, Brantley masih tinggal dengan ibunya di Washington. "Saya sangat rentan," ujarnya, dikutip dari The Wall Street Journal, Senin (27/10/2025).
The Wall Street Journal menuliskan bahwa meraih penghasilan yang layak dan dapat diandalkan sebagai kreator konten adalah hal yang sulit, dan akan semakin sulit.
Platform makin lama makin kecil membagikan uang untuk postingan populer. Di sisi lain, para brand lebih spesifik memilih kesepakatan dengan influencer.
Kondisi ini diperparah dengan ancaman TikTok diblokir di AS. Banyak kreator konten yang waswas apakah masih bisa meraup penghasilan dari media sosial jika salah satu channel sumber uangnya dihapus.
Industri Influencer Makin Sesak
Menurut laporan Goldman Sachs pada 2023, ratusan juta orang di seluruh dunia mem-posting konten yang menghibur dan mengedukasi di media sosial. Sekitar 50 juta orang mengumpulkan uang dari sana.
Bank investasi tersebut memperkirakan jumlah kreator yang menghasilkan pendapatan akan tumbuh pada tingkat tahunan sebesar 10% hingga 20% pada tahun 2028. Hal ini berkontribusi pada penambahan jumlah pencari nafkah, meski Departemen Tenaga Kerja tidak melacak gaji para influencer.
Secara rata-rata, kreator konten butuh waktu bulanan bahkan tahunan untuk mengumpulkan pendapatan dari platform media sosial, kerja sama brand, hingga link affiliate. Namun, makin banyak yang mencari rezeki dari industri ini, makin kecil pula 'kue' yang harus dibagi-bagi.
Menurut NeoReach, pada 2023, sebanyak 48% influencer mengumpulkan kurang dari US$ 15.000 atau Rp 245 jutaan. Hanya 14% yang mengumpulkan uang lebih dari US$ 100.000 atau Rp 1,6 miliar.
Ketimpangan pemasukan influencer ini ditentukan beberapa faktor. Misalnya apakah influencer bekerja secara full-time atau part-time, tipe konten yang dibagikan, hingga durasi mereka berkarir sebagai influencer.
Beberapa orang yang terkenal saat pandemi Covid-19 dan fokus pada topik yang populer seperti fesyen, investasi, dan hack gaya hidup, mengaku sangat terbantu karena momentumnya pas.
Namun, di balik itu semua, kreator konten mengaku pekerjaan ini sangat menguras energi dan mental. Mereka harus selalu memikirkan konten apa yang akan disukai audiens dan mengambil momentum yang tepat.
Influencer menghabiskan waktu berhari-hari untuk merencanakan konten, memproduksi, hingga melalui proses edit untuk diunggah ke media sosial. Mereka juga harus selalu berinteraksi dengan para fans untuk menjaga popularitas.
"Ini adalah pekerjaan yang sangat berat dibandingkan apa yang dikira kebanyakan orang," kata analis Emarketer, Jasmine Enberg.
"Kreator yang bisa hidup dengan menjadi influencer telah melakukan pekerjaan ini selama bertahun-tahun. Kebanyakan tak jadi besar dalam waktu singkat," kata analis tersebut.
Terlebih lagi, para influencer yang bekerja secara mandiri tidak mendapatkan keuntungan seperti pekerja kantoran. Mereka tak mendapatkan jaminan kesehatan, uang pensiun, serta bonus tahunan.
Di tengah inflasi dan ketidakpastian ekonomi, influencer menghadapi tekanan yang kian sulit untuk mengamankan keuangan mereka.
Penghasilan dari Platform Makin Kecil
Pada 2020-2023, TikTok memiliki program pendanaan untuk kreator hingga US$ 1 miliar. YouTube melalui fitur Shorts juga memungkinkan kreator menghimpun uang sekitar US$ 100-10.000 per bulan dengan program pendanaan sementara.
Lalu, Instagram Reels memberikan penghargaan ke kreator dalam jumlah yang fluktuatif. Bonus besar itu menjadi taktik agar makin banyak orang membuat konten di platform mereka.
Namun, kini platform mulai mengubah kebijakan pembayaran untuk kreator konten. Ketentuan untuk penghasilan TikToker kini diperbanyak. Setidaknya harus memiliki 10.000 follower dengan view minimum 100.000 dalam sebulan.
Instagram juga tengah menguji coba program 'invitation-only' yang memberikan penghargaan uang bagi kreator yang membagikan Reels dan foto.
YouTube memperkenalkan program pembagian uang iklan pada tahun lalu untuk kreator Shorts yang memiliki setidaknya 1.000 subscriber dan 10 juta view dalam 90 hari. Mereka akan diberikan pembagian pendapatan iklan 45% untuk konten yang mereka bagikan.
Makin lama, TikToker mengaku makin susah cari duit. Salah satunya Ben-Hyun yang mengatakan pada Maret lalu mendapatkan US$ 200-400 per satu juta view. Namun, kini pendapatannya kian menurun meski followernya bertambah banyak hingga 2,9 juta.
Ben-Hyun mengaku kini hanya mendapat US$ 120 untuk video yang menghimpun 10 juta view. Hal ini menunjukkan, meski influencer memiliki audiens banyak, tetap sulit untuk memonetisasinya jika hanya berharap pada pendapatan dari platform.
Danisha Carter juga membagikan keresahan serupa. Ia mengatakan TikTok-nya memiliki 1,9 juta pengikut.
Menurutnya, para konten kreator berhasil membuat audiens 'ketagihan' di platform online dan mendatangkan pendapatan miliaran dolar AS ke TikTok dan sejenisnya.
Namun, bayaran untuk influencer tak setimpal. Ia mengaku mendapatkan pendapatan dari TikTok dengan total US$ 12.000. Untuk menambah pendapatan, ia memutuskan membuat merchandise dan mampu menghasilkan uang US$ 5.000 pada tahun lalu.
"Kreator harus dibayar adil dengan persentase yang sesuai dengan pendapatan yang diraih aplikasi," kata Carter.
"Harus ada transparansi soal bagaimana kami dibayar, dan kebijakannya harus konsisten," ia menyarankan.
Fenomena YouTuber Indonesia Makin Susah
Fenomena industri YouTube yang kian susah turut dirasakan beberapa YouTuber di Indonesia. Misalnya YouTuber otomotif Fitra Eri mengakui bahwa AdSense di Indonesia tidak bisa diandalkan sebagai sumber utama penghasilan. Menurutnya, nilai iklan di Indonesia jauh lebih kecil dibanding negara lain.
"AdSense itu untuk Indonesia ukurannya kecil. Di Amerika, untuk view yang sama bisa 10 kali lipatnya Indonesia," kata Fitra kepada CNBC Indonesia.
Ia menjelaskan, sebagian besar konten kreator kini menganggap AdSense hanya sebagai bonus. Sedangkan penghasilan yang lebih banyak itu datang dari kerjasama brand.
"Itu nilainya bisa berkali-kali lipatnya AdSense. Jadi sebenarnya yang dibutuhkan itu bukan nilai AdSense, tapi view. Karena kalau view kita banyak, pasti harga kita untuk ke brand pasti jadi lebih tinggi," ujar Fitra Eri dalam sambungan telepon dengan CNBC Indonesia, Kamis (23/10) lalu.
Menurut Fitra, masa keemasan pendapatan dari YouTube terjadi saat pandemi Covid-19. Saat itu, hampir semua orang menghabiskan waktu di rumah dan lebih sering menonton video daring.
"Itu adalah puncaknya, lebih 2020-2021 itu puncak-puncaknya gitu. Nah setelah itu masih orang berkegiatan lagi di luar, pasti makin sedikit yang nonton," ujarnya.
Pandangan serupa datang dari Romi, Co-founder DroidLime, salah satu kanal teknologi di YouTube, sudah berkecimpung di dunia ini sejak 2014. Ia menyebut masa-masa awal YouTube masih "murni", di mana para kreator muncul dengan ide orisinal tanpa nama besar di belakangnya.
"Kalau dulu mulai di 2014 akhir, 2015 awal, itu benar-benar masih pure content creator, masih banyak content creator, orang-orang yang tidak tahu, bukan basic artis, atau orang-orang yang memang sudah terkenal, itu mereka bikin konten di YouTube secara original," ujar Romi.
Namun, lima tahun terakhir peta berubah. Banyak artis dan figur publik yang sebelumnya bermain di televisi kini ikut terjun ke YouTube. Hal itu, menurut Romi, mengubah "DNA" platform yang dulunya edukatif dan informatif menjadi lebih mengarah ke entertainment.
"Sekarang orang lebih banyak cari hiburan, jalan-jalan, grebek rumah, hal-hal yang mirip TV. Akibatnya, konten kreator yang dulu kuat di review dan tutorial mulai turun karena karakter industrinya sudah beda," jelasnya.
Dampak pergeseran ini turut dirasakan dari sisi AdSense, salah satu sumber pendapatan kreator YouTube. Romi menuturkan, tingkat klik iklan di Indonesia termasuk paling rendah di Asia Tenggara.
"Untuk AdSense sendiri, untuk pendapatan sebenarnya masih sama kayak dulu di Indonesia, itu kan rate untuk iklannya, per kliknya itu kan paling rendah untuk di Asia Tenggara, sangat jauh dibanding dengan Singapura, kalau untuk pendapatan," kata Romi.
Senada dengan Romi, Mikhail, kreator konten teknologi di kanal GadgetApa, juga mengaku kondisi YouTube sekarang jauh berbeda dibanding masa kejayaannya pada 2016-2018.
"Kalau dibanding tahun 2018, pendapatan dari AdSense bisa turun sampai enam kali lipat," ungkap Mikhail.
Menurutnya, penurunan itu bukan semata karena algoritma yang acak, tapi juga karena jumlah konten kreator yang melonjak, terutama sejak era pandemi Covid-19.
"Tapi ini dalam artian nggak cuman hanya algoritma doang, tapi karena banyak banget konten kreator yang baru muncul. Nggak hanya satu doang, efeknya domino banget, nggak cuman karena itu aja," terangnya.
Ia juga menyoroti algoritma YouTube baik di Shorts maupun untuk konten panjang, yang dinilai tidak konsisten.
"Itu algoritma Shorts di YouTube sangat ngawur, enggak tahu kenapa dia ngasih video-video tidak relevan itu banyak banget. Pun begitu long form-nya juga entah kenapa dia banyak sekali menyajikan video-video yang sudah lama," ungkap Mikhail
"Karena kami kan di bidang teknologi ya, teknologi itu kan kalau misalnya HP, kan biasanya review HP-HP baru kan. Ini kadang-kadang dia ngasih referensi, HP-HP lama gitu," imbuhnya.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Cari Kerja Makin Susah, Profesi Ini Tiba-tiba Naik Daun


















































