Belajar dari BUMN Minyak Italia: Sempat Krisis Lalu Bangkit!

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Kisah perjalanan panjang dan berliku perusahaan minyak dan gas bumi (migas) asal Italia yakni Ente Nazionale Idrocarburi (ENI) bisa menjadi contoh bagi Indonesia. Terutama dalam memperkuat industri energi domestik yang lebih kuat.

Wakil Menteri ESDM 2016-2019 Arcandra Tahar menceritakan bahwa ENI didirikan pada 10 Februari 1953 di tengah ekonomi Italia yang terpuruk pasca perang dunia kedua. Pembentukan ENI merupakan langkah pemerintah Italia untuk memastikan kontrol terhadap minyak dan gas bumi.

Arcandra menuturkan, menurut pemimpin Italia saat itu, pembangunan kembali negara yang hancur akibat perang membutuhkan kehadiran perusahaan minyak yang kuat dan andal guna memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.

"Keamanan suplai (energy security) menjadi tujuan utama dalam pendirian ENI. Seperti yang kita tahu, Italia tidak punya cadangan minyak yang signifikan sehingga mengandalkan impor minyak dari negara lain," tulis Arcandra dikutip dari akun Instagram pribadinya, Rabu (8/10/2025).

Dalam kondisi tersebut, inisiatif untuk membentuk perusahaan minyak nasional dinilai tidak dapat diserahkan kepada pihak swasta karena besarnya kebutuhan modal, sumber daya manusia, dan teknologi. Oleh karena itu, ENI didirikan sebagai badan usaha milik negara pada awal pendiriannya.

Namun, apa yang sesuai pada era 1950-an belum tentu relevan dengan kondisi bisnis pada tahun 1990-an. Misi awal ENI untuk menjadi perusahaan unggulan dalam negeri perlahan mulai menjauh dari kenyataan.

Selain misi perusahaan yang telah melenceng jauh dari tujuan awal dan kondisi keuangan yang terus tergerus, sejumlah pihak yang memiliki integritas dan kepedulian terhadap masa depan ENI akhirnya memutuskan untuk menunjuk Franco Bernabè sebagai CEO pada tahun 1992.

"Beliau salah seorang arsitek yang merestrukturisasi FIAT di tahun 1980-an," kata Arcandra.

Sebelum memulai usaha-usaha perbaikan di ENI, Bernabe mencari akar masalah yang membuat ENI menjadi terpuruk. Dalam proses ini, ia menjadi musuh banyak pihak baik dari dalam ENI sendiri maupun dari luar.

Setidaknya terdapat beberapa akar masalah yang dilihat oleh Bernabe. Diantaranya adalah sebagai berikut:

Masalah pertama, campur tangan politik yang terlalu jauh. Baik dari partai politik, parlemen maupun dari birokrat di Kementerian yang membuat ketidakefisienan dalam menjalankan bisnis dan terbelenggu dalam kepentingan individu dan kelompok.

"Akibatnya inovasi jadi terhambat dan teknologi-teknologi baru yang membuat biaya menjadi kompetitif tidak bisa terlaksana," tulis Arcandra.

Kepentingan para pemilik teknologi lama yang sudah menikmati keuntungan ekonomi selama bertahun-tahun berusaha untuk menggagalkan setiap usaha perbaikan dari sisi teknologi baru. Di sisi lain, National Oil Company (NOC) yang berada di negara lain sudah jauh lebih maju.

Masalah kedua yang dihadapi ENI adalah terlalu lama menikmati monopoli untuk pasar di dalam negeri dan adanya hak-hak khusus yang diberikan negara dalam mengelola resources di Italia. Akibatnya, ENI menjadi tidak responsif terhadap masukan dan kritik dari konsumen dan partner bisnisnya.

"Budaya kerja yang lamban dan proses bisnis yang berbelit-belit menjadi hal biasa di ENI pada saat itu," kata Arcandra.

Masalah ketiga adalah terlalu berpuas diri terhadap pencapaian yang sudah diraih. Merasa telah memberikan kontribusi yang besar terhadap negara sehingga tidak memerlukan investasi untuk pengembangan bisnis ke depan.

Pimpinan dan staf yang bekerja merasa sudah menjadi orang terbaik yang mengakibatkan talenta-talenta hebat sudah tidak diperlukan lagi. Akibatnya teknologi usanglah yang terus dipakai karena sudah puas dengan apa yang ada.

"Inovasi teknologi dan sumber daya manusia yang handal merupakan kunci bagi industri oil and gas mampu bertahan hidup sampai sekarang. Dapat dibayangkan kondisi ENI sewaktu Bernabe mulai memegang tampuk pimpinan," lanjut Arcandra.

Masalah keempat yang dihadapi ENI adalah keputusan untuk berinvestasi banyak berdasar pada kepentingan politik bukan pada kelayakan teknologi dan ekonomi. Akibatnya tumbuh budaya makelar (fortune seekers) untuk mendapatkan keuntungan besar dalam waktu singkat.

Kepentingan ENI untuk tumbuh dan berkembang secara sehat menjadi terganggu. Semua penyakit kronis yang dihadapi ENI pada saat itu mengakibatkan subsidi energi pemerintah Italia menjadi membengkak.

Sehingga, dana pemerintah untuk membiayai proyek-proyek investasi yang memberikan nilai tambah menjadi terbatas. Pada saat dana pemerintah terbatas untuk memberikan subsidi, bank-bank di negara lain yang menyediakan pinjaman mengalami kesulitan keuangan.

"Sementara laporan keuangan perusahaan sudah berdarah-darah, di situlah titik balik dari seorang CEO ENI untuk memutuskan ENI harus diprivatisasi," katanya.

Sebelum keputusan privatisasi ini dibuat, Bernabe datang ke Houston pada tahun 1995 untuk mendapatkan nasehat kepada sekelompok orang untuk privatisasi. Pada tahun itu juga akhirnya sebagian saham pemerintah dijual lewat bursa saham.

Pemerintah Italia tetap sebagai pemegang saham pengendali (golden share). Adapun, sampai tahun 1997, pemerintah Italia sudah mendapatkan dana segar sebesar US$ 17,6 miliar. Sedangkan keuntungan perusahaan pada tahun 1996 sudah mencapai US$ 3 miliar.

"Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa Bernabe harus ke Houston, bagaimana proses IPO nya dan apa yang dilakukan ENI sebelum IPO agar investor tertarik? Ini bisa kita diskusikan dalam kesempatan lain," tutup Arcandra.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Perusahaan Malaysia-Italia Jajaki Kerja Sama Garap Proyek Migas di RI

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|