REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) menolak seruan Presiden Palestina Mahmoud Abbas di hadapan Majelis Umum PBB untuk menyerahkan senjata perlawanan. Mereka menekankan bahwa satu-satunya cara untuk menghadapi genosida dan pembersihan etnis oleh Israel adalah melalui konsensus nasional mengenai program perjuangan yang komprehensif.
Gerakan tersebut mengatakan dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan pada Kamis malam bahwa perlawanan adalah tanggung jawab nasional dan moral. Perlawanan itu memperoleh legitimasi dari rakyat Palestina yang teguh dan hak alami mereka untuk melawan pendudukan, sebagaimana diakui oleh hukum dan piagam internasional.
“Kami benar-benar menolak identifikasi Presiden Otoritas Palestina (Mahmoud Abbas) dengan narasi palsu Zionis yang mencoba memutarbalikkannya dengan menuduhnya menargetkan warga sipil,” bunyi pernyataan itu dilansir Aljazirah.
Pernyataan tersebut menekankan bahwa semua upaya untuk memaksakan perwalian atas rakyat Palestina dan keinginan mereka akan gagal. Hamas juga mengecam pernyataan presiden Otoritas Palestina bahwa gerakan tersebut tidak akan mempunyai peran dalam pemerintahan.
“Ini pelanggaran terhadap hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan memilih siapa yang memerintah mereka, dan merupakan ketundukan yang tidak dapat diterima terhadap perintah dan skema asing.”
Aksi Brigade Al-Qassam menjebak tank-tank Israel di persimpangan Al-Saftawi, sebelah barat kamp Jabalia, September 2025.
Gerakan tersebut menekankan bahwa senjata perlawanan tidak dapat dilucuti selama pendudukan masih bercokol di tanah Palestina. “Kami mengutuk permintaan Presiden Otoritas untuk menyerahkan senjata tersebut, terutama mengingat perang pemusnahan brutal yang dialami rakyat kami di Jalur Gaza, dan kejahatan serta serangan biadab yang dilakukan oleh pemukim bersenjata dan tentara pendudukan terhadap warga sipil yang tidak berdaya di Tepi Barat yang diduduki.”
Hamas menyerukan persatuan nasional dan konsensus mengenai program perjuangan komprehensif untuk menghadapi penjajah. Hal ini mereka nilai sebagai satu-satunya cara untuk melindungi perjuangan nasional dan menghadapi proyek-proyek penjajah fasis yang bertujuan untuk memusnahkan dan menggusur rakyat di Gaza, mencaplok Tepi Barat, dan melakukan Yahudisasi Yerusalem dan Al-Aqsa.
Kelompok Hamas terbentuk menyusul perlawanan semesta Palestina alias Intifada pada 1980-an. Sayap militernya, Brigade Izzuddin al-Qassam, bertanggung jawab melakukan perlawanan militer terhadap penjajah Israel.
Sebagai partai politik, Hamas memenangkan pemilu perdana Palestina pada 2006. Kendati demikian, kemenangan itu enggan diakui negara-negara Barat yang mencap Hamas sebagai kelompok teror. Dengan dukungan negara Barat, faksi Fatah melakukan pemberontakan atas kemenangan itu yang memicu perang sipil di Gaza.
Bagaimanapun, Hamas berhasil merebut kendali Gaza yang kemudian dibalas Israel dan sekutunya dengan blokade atas wilayah itu, menjadikannya penjara terbuka terbesar di dunia.
Pada 7 Oktober, Hamas bersama faksi-faksi perlawanan lainnya di Gaza seperti Jihad Islam Palestina, PFLP, DFLP, dan Komite Nasional mencoba membongkar kepungan itu dengan melakukan serangan ke Israel. Serangan itu diklaim Israel menewaskan seribu lebih tentara Israel dan warga sipil. Pihak Israel belakangan mengakui sebagian korban jiwa adalah karena tindakan militer Israel sendiri.
Para pejuang Palestina juga menyandera 200 lebih warga sipil dan tentara Israel untuk ditukar dengan ribuan warga Palestina yang dipenjarakan tanpa proses hukum oleh Israel.
Israel kemudian membalas aksi itu dengan melakukan serangan brutal di Gaza yang sejauh ini menewaskan lebih dari 65 ribu jiwa. Israel juga menerapkan blokade yang menyebabkan ratusan orang meninggal kelaparan. Berbagai lembaga termasuk penyelidik PBB menyimpulkan bahwa Israel melakukan genosida di Gaza dengan agresi tersebut. Sejauh ini, PM Israel Benjamin Netanyahu terus menggagalkan upaya gencatan senjata dan pertukaran sandera.