Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah insiden tragis terjadi saat pertandingan final turnamen sepak bola di kota Nzerekore, Guinea, menewaskan 56 orang menurut laporan sementara yang dirilis pemerintah pada Senin (2/12/2024). Kekacauan ini dipicu oleh keputusan kontroversial wasit yang memicu aksi kekerasan, diikuti oleh desakan massa di stadion.
Insiden bermula pada menit ke-82 pertandingan, ketika wasit memberikan kartu merah yang memicu protes keras dari penonton. Amara Conde, seorang saksi mata, menggambarkan suasana mencekam saat kekerasan pecah.
"Lemparan batu mulai terjadi, dan polisi merespons dengan menembakkan gas air mata. Dalam kepanikan yang terjadi, saya melihat orang-orang jatuh ke tanah, termasuk anak-anak dan perempuan yang terinjak-injak. Itu sangat mengerikan," katanya melalui sambungan telepon kepada Reuters.
Kerumunan berusaha meninggalkan stadion dengan panik, yang menyebabkan penumpukan berbahaya di pintu keluar. Sebuah video yang diverifikasi menunjukkan banyak orang memanjat dinding tinggi stadion untuk melarikan diri.
Seorang pejabat dari administrasi kota yang berbicara tanpa menyebut nama mengungkapkan bahwa banyak korban adalah anak-anak.
"Setelah gas air mata ditembakkan, banyak anak-anak terjebak dalam kekacauan. Beberapa orang tua bahkan mengambil tubuh anak-anak mereka sebelum dihitung resmi," ujar pejabat tersebut.
Gambar dan video yang tersebar di media sosial menunjukkan barisan korban tergeletak di tanah, termasuk anak-anak. Pemerintah Guinea menjanjikan penyelidikan mendalam atas insiden ini.
Tragedi ini menambah daftar panjang bencana mematikan yang terjadi di stadion sepak bola di Afrika. Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAF) bersama FIFA telah berupaya menangani masalah seperti kapasitas berlebihan dan kurangnya keamanan di stadion.
Namun, insiden di Guinea ini menunjukkan masih adanya tantangan besar dalam memastikan keselamatan penonton di kawasan tersebut.
Adapun, turnamen ini diadakan untuk menghormati pemimpin militer Guinea, Mamady Doumbouya, yang mengambil alih kekuasaan melalui kudeta pada 2021. Namun, penyelenggaraan acara ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk oposisi.
Kelompok oposisi National Alliance for Change and Democracy menuduh pemerintah militer menggunakan turnamen seperti ini untuk memperkuat dukungan politik, yang dinilai melanggar piagam transisi sebelum pemilihan presiden yang dijanjikan.
Mantan Presiden Alpha Conde juga mengkritik penyelenggaraan turnamen ini di tengah situasi politik yang tegang. "Dalam konteks di mana negara ini sudah ditandai oleh ketegangan dan pembatasan, tragedi ini menyoroti bahaya dari organisasi yang tidak bertanggung jawab," kata Conde dalam pernyataannya.
Pemerintahan Doumbouya sebelumnya telah menyetujui masa transisi dua tahun menuju pemilu, yang disepakati dengan blok politik dan ekonomi Afrika Barat pada 2022. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda nyata bahwa pemilu akan segera digelar, memicu frustrasi publik dan protes yang kerap berujung kekerasan.
Organisasi Human Rights Watch menuduh pihak militer menggunakan kekerasan berlebihan terhadap demonstran, termasuk penggunaan gas air mata dan senjata api. Dalam laporannya, HRW juga menyatakan bahwa junta gagal memenuhi janji untuk mengembalikan pemerintahan sipil pada Desember 2024.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Prediksi Starter Timnas Indonesia Vs Arab Saudi
Next Article Irfan Bachdim Beri Coaching Clinic di Relawan Bakti BUMN Jembrana