Indonesia Menuntut Dana Hibah dan Transfer Teknologi dari Negara Maju

5 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID,BELEM — Indonesia mendorong implementasi Perjanjian Paris disertai dukungan nyata berupa pendanaan berbasis hibah, akses teknologi yang terjangkau, dan mekanisme transisi berkeadilan yang melindungi kepentingan negara berkembang. Delegasi Indonesia di Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) di Belém, Brasil yang dipimpin Kementerian Lingkungan Hidup menekankan keputusan COP30 harus menjadi fondasi aksi global, bukan sekadar kompilasi komitmen politik.

Indonesia mengapresiasi pemerintah Brasil dan Kantor PBB untuk Koordinasi Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) atas penyelenggaraan COP30. Indonesia juga menegaskan COP30 telah menjadi tonggak penting untuk memperkuat “moving from ambition to action.”

Delegasi Indonesia menilai keberhasilan pertemuan itu tidak lagi ditentukan banyaknya keputusan yang diadopsi. Namun kemampuan dunia untuk memastikan implementasi yang terukur, adil, dan menyeluruh. Kementerian Lingkungan Hidup menegaskan dukungan internasional berbasis hibah, akses teknologi, dan peningkatan kapasitas adalah prasyarat bagi negara berkembang untuk memenuhi mandat global untuk bertransisi ke ekonomi rendah karbon.

“Implementasi tanpa dukungan nyata adalah retorika; kami menuntut pendanaan hibah, transfer teknologi, dan mekanisme yang adil agar negara berkembang dapat menerjemahkan komitmen menjadi aksi di lapangan,” kata Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon Kementerian Lingkungan Hidup, Ary Sudijanto dalam pernyataannya, Senin (24/11/2025).

Indonesia menyoroti sejumlah capaian dan prioritas yang diperjuangkan selama COP30. Pada isu Global Goal on Adaptation (GGA), Indonesia menegaskan komitmen mempercepat implementasi indikator adaptasi yang sederhana, terukur, dan fleksibel sesuai kondisi nasional.

Delegasi Indonesia menekankan indikator GGA tidak boleh menjadi beban administratif bagi negara berkembang. Indonesia juga menyerukan agar pembahasan terminologi seperti transformational adaptation tidak mengaburkan prioritas utama, yaitu memastikan indikator dapat langsung diwujudkan menjadi aksi nyata untuk memperkuat ketahanan masyarakat.

Pada isu gender dan perubahan iklim, Indonesia menyambut adopsi Belem Gender Action Plan (GAP) 2026–2034 sebagai pencapaian penting dalam memastikan kebijakan iklim yang inklusif. Indonesia menegaskan pelaksanaan GAP harus dilakukan melalui proses nasional dan menghormati hukum domestik serta prinsip Common But Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities (CBDR-RC).

Kementerian Lingkungan Hidup menjelaskan CBDR-RC merupakan prinsip dalam hukum lingkungan internasional yang dimuat dalam Konvensi Rio De Jeneiro. Konvensi itu menyatakan semua negara memiliki tanggung jawab bersama untuk mengatasi perubahan iklim, tetapi dengan porsi kewajiban dan kemampuan yang berbeda sesuai dengan kontribusi historis dan kondisi masing-masing (sosial, teknologi, kapasitas, ekonomi).

Prinsip ini menegaskan negara-negara maju memiliki tanggung jawab lebih besar untuk memimpin upaya penanganan perubahan iklim, termasuk memberikan dukungan pendanaan dan teknologi kepada negara-negara berkembang. Delegasi Indonesia menyampaikan keberatan terhadap beberapa terminologi yang tidak sesuai kerangka kebijakan nasional, termasuk penggunaan gender and age-disaggregated data.

Meskipun demikian, Indonesia menegaskan komitmen untuk memperkuat integrasi gender melalui RAN-GPI 2024–2030 demi memastikan perempuan dan kelompok rentan merasakan manfaat kebijakan iklim. “Indonesia tetap berkomitmen mendukung implementasi Belem Gender Action Plan, dengan pemahaman pelaksanaannya harus didorong oleh proses nasional dan selaras dengan hukum yang berlaku,” kata Ary.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|